BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman
hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat
dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam
dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun
menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan
putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak
dalam penafrsiran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk
ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika
menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di
mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang
melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya
tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah
tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak
dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa
keemasan selalu mengalami perkembangan dan perubahan serta memiliki
karakteristik dan corak yang unik sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal
demikian tidak lepas dari faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat itu.
B.
Rumusan masalah
Dalam
makalah ini dirumuskan beberapa permsalahan yang terkait dengan permasakahan
diatas yaitu:
1.
Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?
2.
apa saja corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat
itu?
3.
Siapa saja tokoh tafsir pada abad pertengahan dan apa
sajakah kitab-kitab yang berkembang pada masa tersebut?
C.
Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini
adalah ingin memberikan penjelasan tentang perkembangan tafsir pada era
pertengahan yang mana tentunya memiliki ciri khas tersendiri dari era tafsir
lainnya, sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan pembaca khususnya
tentang perkembangan tafsir mulai dari era klasik, era pertengahan, hingga era
kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Sejarah Tafsir
Era Pertengahan
Perkembangan
karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3
sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk
penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk
buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai
zaman keemasan ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal
ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
sendiri.[1]
Priode
ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar
ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal
ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya
tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio”
akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir pada masa ini.
Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran tertentu, karena
kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman
keemasan dalam sejarah peradaban Islam dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat
seiring dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca :
Yunani, Eropa) seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan
dengan cabang ilmu keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam
hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah
perkembangan peradaban manusia khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian
yang serius oleh pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman
delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun
dibukakannya forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.[2]
Forum
dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada
perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin adu argumentsi dengan penggemar filsafat,
antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan
yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara
ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)
minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan hingga terjadi luapan darah.[3]
Setelah periode sahabat beserta
tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan
dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan
kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa
akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan
abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan
yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan
tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan
ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang
pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan
fi Ta’wil Ay Al Qur’an.
Forum
dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada
perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin adu argumentsi dengan penggemar filsafat,
antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan
yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara
ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)
minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan hingga terjadi luapan darah.[4]
B.
Karakteristik Tafsir
Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir memiliki
karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan pemahaman
Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi
penafsiran adalah berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan
untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang
berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai
berikut :
a.
Pemaksaan Gagasan
Eksternal al-Qur’an[5]
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an
adalah bahwa pada zaman ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan
pada kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan
subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada
salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi,
al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta
temuan dalam QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ
كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Yusuf berkata : ‘dia menggodaku
untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita
itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita
itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS.
Yusuf :26).[6]
Ayat diatas menceritakan pengalam
pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan
tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh
lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan
teori wahdah al-wujud. Dia
membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan karena kesatuan wujudnya
ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang
mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).[7]
b.
Bersifat ideologis[8]
Karakteristik
bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara berpikir yang
berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu
ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin
al-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu
Bakr, justru dalam surat al-Fatihah ayat
6-7 :
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).[9]
c. Bersifat
repetitif[10]
Umumnya
tafsir periode ini menganut system mushafi.
Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi
al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang
popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan
Qadariyah. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat
ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
d. Bersifat
parsial[11]
Maksudnya
adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga
kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji
suatu tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal
dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat
Ali Imron, yakni kata tuqoh :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat,
pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembalimu.” (QS. Ali Imron :28).[12]
C.
Corak tafsir era
pertengahan
Corak dalam literatur sejarah tafsir
biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di
sini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri
pada tafsir. sebagaimana sudah dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi
intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan menggambarkan minat dan horison
pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang
diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang muncul ke permukaan pada
periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir
Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan
ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran
al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik
dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi
yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah,
yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits,
ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik
runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi
dan lain-lain)[13].
Kemudian ada juga yang
memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari
dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at,
nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah
yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua,
komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses
penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode
penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab[14],
mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a]
corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran
ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa
Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan
perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk
tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai
bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang
sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata
dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak
terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan
misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai,
perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.
Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran
yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah
sebagai berikut:
a.
Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya
adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya dalam bidang fikh
sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang berada dibawah
pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum
melakukan usaha penafsiran.
Dalam
bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan
disksi fikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra
daripada pelakunya.
Tafsir
semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-ketentuan
perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio
dari tafsir fikhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan
muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum
mendapat pemecahan. Tentunya untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut
syari’at, menyebabkan mereka tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari
Al-Qur’an. Kemudian hal-hal seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya
berbagai madzhab hukum dan fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya
menghegemoni alam pikiran orang-orang yang menaruh minat atas studi hukum.
b.
Corak linguistik
Tafsir
corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam
menjelaskan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan dari
pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam
tafsir linguistik ialah:
·
Banyak menggunakan
aspek semantis atau makna sebuah kata.
·
Banyak menguraikan
aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
·
Banyak menjelaskan
aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan memanfaatkan teori
nahwu atau gramatika bahasa arab.
·
Banyak menjelaskan
aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·
Banyak menjelaskan
aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·
Banyak menjelaskan aspek
majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan teori-teori linguistik.
c.
Corak Tafsir Teologis
Tafsir
corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya
ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi
merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis
tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan
tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an.
Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam.
Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap
paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya.
Ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama
lain, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai
basis penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.[15]
d.
Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya
sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan
eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik
kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus
berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan
tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori
mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme
dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati
Allah, dan para teosof yang lebih
mementingkan teori-teori mistiknya.[16]
e.
Corak Tafsir Falsafi
Setelah
kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan kedalam bahasa
Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini
dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian muncullah reaksi
dan respon tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka menolak teori-teori
filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan
keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian yang lain merasa kagum atas
teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan
akidah antara filsafat dan agama.
Untuk
mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan
pandangan para filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan
ini sehingga sejalan. Kedua, dengan
cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan
teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al
farabi, al kindi, dan ikhwan al-shafa.[17]
f.
Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir
‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam
ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai ilmu
serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini
dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam ilmu
baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.
Munculnya
tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di kalangan para ulama.
Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu bukan buku ilmu
pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia. Jika seseorang
berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur'an,
maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan
menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran
ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu tidak perlu
melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi teori-teori
ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari
pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang lebih
moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak
dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan
moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[18]
D.
Tokoh-tokoh tafsir era
pertengahan
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan
mufasir yang mendukung disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang
dihasilkan memiliki karakter khusus. Seperti Al farra’ adalah seorang ahli
dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah pendukung mu’tazilah.
Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara teologis posisinya mirip
Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasionalis
mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir didaerah yang berbasis mu’tazilah. Selain
itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim asy’ariah yang juga ahli dalam
bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang mencoba merespons capaian
al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari
mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla
muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologi
syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn
Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al
Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.
E.
Kitab-kitab era
pertengahan
Kitab-kitab
tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an
ta’wil ay al-qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an
haqa’iq al-qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M)
dengan corak ideologi mu’tazilah, mafatih al-ghayb karya Fakhrudin
al-Rrazi (1209 M) denga corak teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain
karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan
corak filologi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an
sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan
masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi
oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan
situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek
kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an
tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib
al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Adapun kemudian dari hal
diatas kemudian muncullah berbagai corak penafsiran yang berkembang pada era
pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau
kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Digital
Tim Forum Karya Ilmiah
RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah
Dr.
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika
Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres
Abdul Mustaqim, Dinamika
Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran
Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:TERAS, 2010
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan. 1992
[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah,
dan Tafsir Kalamullah,….h.211-213.
[3] I. Goldziher,
Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ
Pres, 2006), hlm. 130.
[4] I. Goldziher,
Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ
Pres, 2006), hlm. 130.
[13] M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS,
2010), hlm. 12
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm.
72.