CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 05 Oktober 2013

Perkembangan Tafsir Era Pertengahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafrsiran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa keemasan selalu mengalami perkembangan dan perubahan serta memiliki karakteristik dan corak yang unik sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal demikian tidak lepas dari faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
B.            Rumusan masalah
Dalam makalah ini dirumuskan beberapa permsalahan yang terkait dengan permasakahan diatas yaitu:
1.      Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?
2.      apa saja corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat itu?
3.      Siapa saja tokoh tafsir pada abad pertengahan dan apa sajakah kitab-kitab yang berkembang pada masa tersebut?
C.            Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini adalah ingin memberikan penjelasan tentang perkembangan tafsir pada era pertengahan yang mana tentunya memiliki ciri khas tersendiri dari era tafsir lainnya, sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan pembaca khususnya tentang perkembangan tafsir mulai dari era klasik, era pertengahan, hingga era kontemporer.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan
Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.[1]
Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah peradaban Islam dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa) seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan dengan cabang ilmu keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan peradaban manusia khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun dibukakannya forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.[2]
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.[3]
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.[4]
B.            Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan pemahaman Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi penafsiran adalah berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai berikut :
a.       Pemaksaan Gagasan Eksternal al-Qur’an[5]
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa pada zaman ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan pada kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan dalam QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
 “Yusuf berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS. Yusuf :26).[6]
Ayat diatas menceritakan pengalam pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan teori wahdah al-wujud. Dia membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan karena kesatuan wujudnya ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).[7]
b.      Bersifat ideologis[8]
Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara berpikir yang berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakr, justru dalam surat al-Fatihah  ayat 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).[9]
c.       Bersifat repetitif[10]
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
d.      Bersifat parsial[11]
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh  :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat, pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron :28).[12]
C.            Corak tafsir era pertengahan
Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di sini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan menggambarkan minat dan horison pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)[13].
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab[14], mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:
a.             Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya dalam bidang fikh sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang berada dibawah pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.
Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan disksi fikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra daripada pelakunya.
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fikhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum mendapat pemecahan. Tentunya untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at, menyebabkan mereka tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Kemudian hal-hal seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum dan fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang-orang yang menaruh minat atas studi hukum.
b.            Corak linguistik
Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam tafsir linguistik ialah:
·         Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.
·         Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
·         Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan memanfaatkan teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
·         Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·         Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·         Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan teori-teori linguistik.
c.       Corak Tafsir Teologis
Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam. Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.[15]
d.      Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih mementingkan teori-teori mistiknya.[16]
e.       Corak Tafsir Falsafi
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan kedalam bahasa Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian muncullah reaksi dan respon tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al farabi, al kindi, dan ikhwan al-shafa.[17]
f.       Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.
Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang lebih moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[18]
D.           Tokoh-tokoh tafsir era pertengahan
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan mufasir yang mendukung disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter khusus. Seperti Al farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah pendukung mu’tazilah. Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara teologis posisinya mirip Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasionalis mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir  didaerah yang berbasis mu’tazilah. Selain itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang mencoba merespons capaian al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologi syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.
E.            Kitab-kitab era pertengahan
Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an ta’wil ay al-qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an haqa’iq al-qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M) dengan corak ideologi mu’tazilah, mafatih al-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi (1209 M) denga corak teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.

BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Adapun kemudian dari hal diatas kemudian muncullah berbagai corak penafsiran yang berkembang pada era pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Digital
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah
Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:TERAS, 2010
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992





[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,….h.211-213.
[2] Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 68
[3] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[4] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[5] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 100
[6] Al-Qur’an digital (Q.S. Yusuf: 26)
[7] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Nisa’: 80)
[8] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 101
[9] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
[10] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 106
[11] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 109
[12] Al-Qur’an digital (Q.S. Ali Imran: 28)
[13] M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm.  12
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
[15] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 71
[16] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 72
[17] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 73
[18] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 74