BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia memiliki khazanah tokoh pembaharu dunia
pendidikan Islam yang begitu banyak, para tokoh tersebut sangat intens dan
menaruh perhatian besar tehadap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan
Islam. Mereka banyak melahirkan gerakan-gerakan yang baru, pemikiran-pemikiran
yang segar bahkan gagasan-gagasan yang cemerlang yang sesuai dengan tujuan dan
arahan serta visi misi pendidikan Islam. Peran tokoh-tokoh tersebut banyak
memberikan angin segar, pencerahan ide-ide yang banyak dikembangkan oleh para
praktisi pendidikan pada masa kini.
Nama Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana
Pendidikan Islam di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional yang
kiprahnya dalam memajukan bangsa ini, khususnya umat Islam di waktu lampau
telah diakui oleh berbagai kalangan. Bahkan, pengaruh dari usaha beliau masih
dirasakan hingga sekarang. Pak Natsir
(sapaan akrab beliau) tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan, pemikir
modernis, mujahid dakwah. Tapi, beliau dikenal juga sebagai seorang aktivis
pendidik bangsa yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia sejak
awal kemerdekaan hingga masa orde baru. Pemikirannya banyak digali dan
dijadikan sebagai titik tolak kebangkitan umat Islam dalam berbagai macam
bidang.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat diambil dan dijadikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana biografi dan latar belakang
pemikiran beliau?
2.
Bagaimana pemikiran-pemikiran dan
kontribusi beliau?
3.
Bagaimana pendekatan dan metode yang
beliau terapkan?
4.
Adakah pro dan kontra terhadap
pemikiran beliau?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
M. Natsir
1. Setting Sosial
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten
Solok, Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah bertepatan
dengan 17 Juli 1908 Masehi. Natsir adalah putra dari Khadijah dan Mohammad
Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang
pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau.[1] Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan,
Rubiah, Yohanusun. Di tempat kelahirannya itu ia
melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia
menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun
pada beberapa alim ulama. Pada umur 18 tahun (1926), ia berkeinginan masuk
sekolah rendah belanda (HIS). Keinginan tersebut tidak terlaksana karena ia
anak pegawai rendahan. Kemudian ia masuk sekolah partikelir HIS Adabiyah di
Padang. Tanah kelahiran Natsir
sangat terbuka dengan model pendidikan Belanda, sehingga kesempatan ini banyak
dipergunakan oleh penduduk secara antusias, sehingga sekolah pada waktu itu
tidak dapat menampung animo masyakat untuk mengenyam pendidikan.
Setelah itu ia dipindahkan ke HIS pemerintah di Solok oleh ayahnya
setelah beberapa bulan sekolah di Padang. Disamping belajar ia juga mengajar
dan menjadi guru pembantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia
pindah ke Padang atas ajakan kakaknya Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada
tahun 1923. Antara tahun 1916 hingga tahun 1923 ia belajar di HIS dan madrasah
diniyah di Solok dan di Padang. M. Natsir masuk MULO di Padang dan aktif
mengikuti kegiatan yang bersifat ekstrakulikuler. Tetapi kegiatan itu tetap
menjadi perhatian utamanya. Kemudian ia masuk Nationale Islamietisce
Pawinderij sejenis pramuka zaman sekarang. Dari perkumpulan Jong
Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketahui oleh Sanusi Pane.[2]
Muhammad Natsir meneruskan pendidikan formalnya ke Algememe midelbare
School (AMS) Aldeling A di Bandung. Pada tahun 1938, M. Natsir mulai aktif
di bidang politik di organisasi politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi
anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang bandung. Beliau menjabat ketua PII
Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai
kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap sekertaris
sekolah tinggi islam STI di Jakarta.
Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan
tinggi. Ia yang telah mendapatkan
pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam
bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika. Kemudian pada
tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad
Hassan, yang kelak menjadi tokoh
organisasi Islam Persatuan Islam.
Pada 20 Oktober 1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari
pernikahan tersebut, M. Natsir dikaruniai enam anak yaitu Siti Muchlisah (20
Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1923), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra.
Hasnah Faizah (05 Mei 1941), Dra. Asyatul Asyriyah (20 Mei 1942), Ir. Ahmad
Fauzi (26 April 1944). Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti
Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, dan Esperanto.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 sampai 1945,
jepang merasa perlu merangkul Islam maka dibentuklah Majelis Islam A’la di
Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi organisasi politik Islam.
Pada perkembangan selanjutnya majelis ini berubah menjadi Majlis Syura’
Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada tanggal 07 November 1945 dia menjadi salah satu ketua MASYUMI
hingga partai itu dibubarkan. Sesudah Indonesia merdeka, ia dipercaya menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tampilnya M. Natsir kepuncak
pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi
pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 03 April 1950 yang
lebih dikenal dengan sebutan “Mosi Integral M. Natsir”.
Keharuman nama M. Natsir juga merebak di luar negeri karena berbagai
kegiatan dakwah Islam Internasionalnya. Pada tahun 1956 bersama Syaikh Maulana
Abul A’ala al-Maududy (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi (Luck now), M. Natsir
memimpin sidang mu’tamar alam Islamy di Damaskus. Ia juga menjabat sebagai
wakil presiden kongres Islam sedunia yang berpusat di Pakistan dan mu’tamar
alam Islamy di Arab Saudi. Pada tahun yang sama ia menunaikan haji ketanah suci
Mekkah. Di dunia Internasional M. Natsir dikenal karena dukungan yang tegas
terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika dan usahanya
menghimpun kerja sama antara negara-negara muslim yang baru merdeka.
Sebagai penghormatan terhadap pengabdian M. Natsir kepada dunia Islam,
ia menerima penghargaan internasional berupa bintang penghargaan dari Tunisia
dan dari yayasan Raja Faisal Arab Saudi pada tahun 1980. Di dunia akademik, ia
menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Lebanon 1967. Di
bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas saint
teknologi malaysia 1991 dalam bidang pemikir Islam.[3]
M. Natsir wafat pada tanggal 06 Februari 1963, bertepatan pada tanggal
14 Sya’ban 1413 H di rumah sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta dalam usia 85
tahun.
2. Riwayat Pendidikan dan Karir
NO
|
TAHUN
|
KETERANGAN
|
1
|
1915-1923
|
Mulai masa sekolah di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah
Diniyah Solok
|
2
|
1923-1927
|
Melanjutkan ke MULO Padang dan sudah aktif mengikuti Jong
Islamiten Bond Padang
|
3
|
Juli 1927
|
Tamat dari MULO melanjutkan pendidikan AMS (A2) di
Bandung dan berkenalan dengan Ustadz A. Hasan yang membimbingnya dalam studi
tentang Islam pada Persatuan Islam (Persis) sampai tahun 1932.
|
4
|
1928-1932
|
Keetua Jong Ismamieten Bond Bandung
|
5
|
1931-1932
|
Mengikuti kursus guru diploma L.O.
|
6
|
1932-1942
|
Direktur Pendidikan Islam Bandung
|
7
|
1942-1945
|
Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung
|
8
|
1945-1946
|
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP KNIP)
|
3. Karya-Karya M. Natsir
Selama
menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya
dimuat dalam majalah Algemeen Indische
Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie
(Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als
Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya
mendirikan surat kabar Pembela Islam
yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang
pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar.
Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir
telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak
karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terawalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran
Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam
Islam.
Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan
hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah
menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang
dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Selain
menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930;
sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Selanjutnya,
pada tahun 1938, ia mengeluarkan artikel Suara
Azan dan Lonceng Gereja yang mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen
di Amsterdam. Ia
banyak mengeluarkan artikel yang mengomentari agama Kristen.[23]
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali
untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia
juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda.[4]
B.
Pemikiran-Pemikiran
Beserta Kontribusi M. Natsir
1. Pan Islamisme
Untuk melihat lebih jauh pemikiran Natsir mengenai Kebangsaan dan
Islam haruslah memahami situasi dan suasana kebatinan perjuangan Islam pada
masa tersebut. Pada abad 19, kondisi bangsa-bangsa yang mayoritas Islam berada
dalam situasi penjajahan. Kemunduran peradaban Islam saat itu membangkitkan
kembali semangat para ulama dan intelektual muslim untuk mengembalikan kejayaan
Islam. Jamaluddin Al-Afghani adalah tokoh ulama intelektual akhir abad 18 yang
mengikhtiarkan Pan-Islamisme, perjuangan bersama seluruh umat muslim menentang
penjajahan, sangat mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam diseluruh dunia
termasuk Natsir.
Pemahaman terhadap Pan-Islamisme terbagi dalam 2 sentrum pemikiran
besar, yakni Sentrum Reformis yaitu bergerak dari kultural menuju struktural,
dan Sentrum revolusioner yang bergerak dari struktural menuju kultural. Natsir
berada dalam Sentrum Pemikiran Reformis, memulai kegiatan politiknya dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Ia melihat bahwa metode pendidikan Barat
mampu membentuk intelektual-intelektual yang wahid di bidangnya tapi kehilangan
dalam identitas dan nilai-nilai spiritualitas sedangkan pendidikan Islam
terjebak dalam kekakuan feodalisme tapi masih memiliki identitas dan
spiritualitas. Memandang kondisi tersebut, ia bergerak pertama kali dalam dunia
pendidikan sebagai panggilan imannya untuk melaksanakan tugas sebagai anak
zaman. Pada tahun 1967 Natsir kembali berkiprah dalam bidang dakwah dan
pendidikan.
2. Agama dan Negara
Bagi Natsir, agama
(baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan
kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya
pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti
kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang
dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin
dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari
dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim
di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia
dan akhirat kelak.[5]
Untuk mencapai
predikat “hamba Allah” tersebut, Allah memberikan aturan kepada manusia.
“Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita
dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara
aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di
antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada
diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta
kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak
kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.”[6]
Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama
bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti salat
dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam
muamalah dan hubungan social kemasyarakatan. Oleh karenanya, menurutnya, untuk
menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan
sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam
pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan
oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim bahwa sesungguhnya Allahlah pemegang
dengan kekuasaan penguasa (Natsir, 1973: 436-437).
Dari pernyataan di atas, nampaknya Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan
negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosa, yaitu berhubungan
secara resiprokal dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena
dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama,
karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral
(Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam
merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah
saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan,
maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R.
Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama, tetapi juga merupakan
peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan
agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan
dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136).
Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian
sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibn Taimiyyah (w.
1328 M) yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban
asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali
dengan adanya kepemimpinan (Taimiyyah, 1988: 138). Terkandungnya
hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir
ini didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973: 436-437).
Dalam kasus Turki, kata Natsir, Turki bukanlah
pemerintahan Islam, karena di Turki tidak ada lagi integrasi antara agama
dengan negara. Karenanya, negara hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, maka
tidak perlu ada perintah Tuhan untuk mendirikan Negara. Yang perlu adalah
pedoman untuk mengatur negara supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan
menjadi media yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang
terhimpun dalam negara itu; baik untuk keselamatan maupun kesentosaan individu
dan masyarakat (Natsir, 1973: 443).
3. Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri
sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan
dinamika perkembangan masyarakat.[9] Selain
itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya.
Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Bagi
Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada
Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini
juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan
pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin
menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada
Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri.
Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah
semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana,
di antaranya adalah pendidikan.
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan
diri sepenuhnya kepada Allah, berarti is telah berada dalam dimensi kehidupan
yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan diakhirat. Menurut Natsir dalam
menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia
sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi. Perkataan
menyembah-Ku sebagaimana terdapat
dalam potongan surat az Dzariyat tersebut diatas menurut Natsir memiliki arti
yang sangat dalam dan luas lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu
yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari. ”Menyembah Allah” itu
melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi yang
membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan diakhirat, serta menjauhkan diri
dari segala larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan di dunia dan di
akhirat itu.
Selain
itu, Muhammad Natsir sangat konsen terhadap Pendidikan anak dalam Islam, sesuai
yang dipahami Natsir, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak
(orang tua). Hukumnya fadlu ‘ain.
Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya yang harus
dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak mereka
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam tersebut menurut
pandangan Mohammad Natsir semestinya kurikulum pendidikan dapat disusun dan
dikembangkan secara integral dengan mempertimbangkan kebutuhan umum dan
kebutuhan khusus sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik,
sehingga akan tertanam sikap kemandirian bagi setiap peserta didik dalam
menyikapi realitas kehidupannya. Beliau sangat tegas menolak teori
dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Makanya beliau menampik
pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu
umum adalah teori yang lahir dari rahim sekularisme. Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan
al-Qur’an tentang manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani
dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya
manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah muka bumi sebagai pengamalan ibadah
kepada Allah dalam arti seluas-luasnya. Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini
sebaik-baiknya kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini.
Muhammad
Natsir juga mengenalkan konsep tauhid sebagai dasar Pendidikan. Tauhid harus
menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya,
diantaranya pendidikan. Muhammad Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah
dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang diasaskan pada tauhid. Beliau
berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini
mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi
dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk bergantung. Hasil dari pendidikan model ini akan
melahirkan generasi-generasi yang memiliki hubungan kuat dengan penciptanya
serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk. Dan inilah dua syarat wajib untuk
mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin.
Muhammad
Natsir telah menempatkan dirinya untuk berada di jalan da’wah. Sehingga apapun
yang dijalankan selalu disebatikan dengan misi da’wah. Kecerdasan yang ada pada
pada diri beliau dan kuatnya keyakinan terhadap ajaran islam menjadikannya
seorang penda’wah yang ulung. Dan kelebihan yang dimilikinya adalah mampu
berda’wah dalam berbagai aspek, seperti politik, pendidikan, keilmuan,
keperibadian dan tingkah laku. Selain itu objek da’wah yang disentuh tidak
hanya untuk kalangan atau golongan tertentu, namun yang menjadi target da’wah
adalah mencakup seluruh masyarakat. Baik golongan atas maupun golongan bawah,
bahkan kiprahnya dalam da’wah mulai dari daerah, nasional hingga internasional.
Dalam berda’wah di arena politik Pak Natsir terkenal dengan dua kalimat
“berda’wah dijalur politik berpolitik dijalur da’wah”. Bagi Pak Natsir
berpolitik adalah suatu medan da’wah, sehingga dalam prakteknya harus dilakukan
dengan penuh kejujuran, keikhlasan dan sopan santun. Dalam berpolitik sangat
tidak pantas kalau hanya menurutkan hawa nafsu dan menepikan hukum Allah.
Berpolitik bukan untuk mencari kekuasaan tetapi yang sangat utama adalah
mengutamakan kemaslahatan umat. Begitu
juga dalam dunia pendidikan, menurutnya pendidikan merupakan sarana untuk
berda’wah. Dengan menggunakan kurikulum pendidikan yang integral maka proses
transformasi ilmu pada peserta didik dapat ditempuh melalui tiga tingkatan
yaitu: metode hikmah, mauidzah dan mujadalah. Ketiga metode tersebut bersifat
landasan normatif dan diterapkan dalam tataran praktis yang dapat dikembangkan
dalam berbagai model sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi peserta didik. Dalam
pandangan Natsir, dari beberapa metode yang diungkapkan di atas, terlihat
metode hikmah lebih berorientasi pada kecerdasan dan keunggulan. Metode ini
memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi kemampuan memilih saat yang tepat untuk
melangkah, mencari kontak dalam alam pemikiran guna dijadikan titik bertolak,
kemampuan memilih kata dan cara yang tepat, sesuai dengan pokok persoalan,
sepadan dengan suasana serta keadaan orang yang dihadapi. Natsir menambahkan
bahwa implikasi metode hikmah ini akan menjelma dalam sikap dan tindakan.
4. Politik
Menurut Chabib Chirzin, M. Natsir adalah
seorang seorang demokrat sejati.6 Ia memulai karir politiknya dengan
mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun
1938. Berkat perjuangan pada tahun 1940-1942, ia diangkat sebagai ketua partai.
Ia jugadiangkat sebagai abdi negara oleh pemerintah sebagai kepala pendidikan
Kodya Bandung sampai tahun 1945, sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Sekolah
tinggi Islam (STI) di Jakarta. Puncak karier politiknya adalah menjadi anggota
Komite Nasional IndonesiaPusat (KNIP), ketua Partai Masyumi, Menteri Penerangan
dan juga pernah menjadi Perdana Menteri RI pada masa pemerintahan Soekarno.
Dalam karir politik, M. Natsir pernah membuat langkah-langkah strategis
khususnya dalam mengangkat mosi pada sidang Perlemen Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada tahun 1950. Ini dikenal dengan mosi integral Natsir. Mosi ini adalah
menyatukan Republik Indonesia yang telah terpecah menjadi 17 negara bagian. Hal
ini sebagai akibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB), kemudian kembali kepada
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adanya mosi inilah, ia
dapat tampil pada puncak pemerintahan. Pada tahun 1958, Natsir pernah membentuk
pemerintahan tandingan yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Pemerintahan tandingan ini dimunculkan sebagai reaksi atas
kebijakan Soekarno yang telah menyeleweng dari UUD 1945.7Akhirnya, pada tahun
1960 ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan pada tahun yang sama PRRI yang
didominasi oleh anggota Masyumi dibubarkan. Pada tahun 1966, Natsir dibebaskan
dari penjara setelah pemerintahan dipegang oleh Orde Baru. Sejak itulah
perjuangan politik M. Natsir berakhir.
5. Gerakan Dakwah
Telah diuraikan di atas bahwa perjuangan
politik M. Natsir berakhir pada tahun 1960 setelah ia dijebloskan ke penjara oleh
Soekarno. Baru setelah runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru, pada tahun
1966 M. Natsir dibebaskan oleh Soeharto. Mulai saat itulah, M. Natsir mengubah
gerakannya dari gerakan politik kepada gerakan dakwah.
a)
Gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dakwah adalah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi
manusia mengikuti Islam.16Dakwah juga dapat diartikan sebagai aktivitas
mengajak dan menggerakan manusia agar menaati ajaran Islam dengan melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.17 Dari pengertian di atas, secara substansial, dakwah dapat diartikan
sebagai sebuah proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia dalam bentuk
amar ma’ruf nahi munkar dan keteladanan yang baik dalam kehidupan
sehari-hari dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dakwah ini merupakan kegiatan tertua, sekaligus menjadi
sebab terbentuknya komunitas dan masyarakat serta peradaban manusia yang
mengantarkan kepada cita-cita ideal dakwah yaitu terwujudnya khairu ummah. Sebab
itulah menurut M. Natsir dakwah harus berpijak pada rasa cinta dan
persaudaraan. Lebih lanjut M. Natsir menegaskan bahwa dakwah memiliki tujuan
yang sangat mulia yaitu:
a. Memanggil manusia kepada syariat untuk
memecahkan persoalan-persoalan hidup, baik perseorangan, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara;
b. Memanggil manusia pada fungsi hidup manusia
sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini, berisikan manusia
berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai
syuhada alannas, menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia; dan
c. Memanggil manusia kepada tujuan hidup manusia
yang hakiki yaitu menyembah Allah.
Dengan demikian, dakwah mengandung
konsekuensi-konsekuensi dalam penerapannya, yaitu:
·
Dakwah hendaklah bersih dari rasa benci dan permusuhan;
·
Tutur kata para
pelaku dakwah harusbersendikan pada akhlaqul karimah;
·
Menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan,
apalagi terkesan membuka aib sesama manusia; dan
·
Menciptakan
kondisi yang bersahabat dan akrab dengan para objek dakwah agar mereka memiliki
rasa melu handarbeni, ikut merasa beertanggung jawab untuk meneruskan
pesan-pesan tersebut kepada teman-temannya yang lain sebagai kelanjutan dari
informasi dakwah yang diterimanya.20
Oleh karena itu, kemudian Natsir membuat
lembaga dakwah yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai
mantan politisi dan mantan pejabat negara, M. Natsir telah dikenal oleh
masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ulama-ulama di Jakarta. Pada tanggal 26
Pebruari 1967, beserta ulama-ulama, tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh agama khususnya
mantan aktivis Masyumi, ia membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi umat
Islam Indonesia.
Dari pembicaraan tersebut, disepakati bahwa
untuk memperjuangkan Islam diperlukan lembaga yang mewadahinya. Pada tanggal 6
Mei 1967, dibentuklah lembaga dakwah yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk mendorong,
memperbaiki dan mengembangkan dakwah Islamiyah di Indonesia dengan dasar taqwa
dan keridlaan Allah Swt.
Sebagaimana organisasi yang lain, DDII
memiliki cabang di berbagai daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten yang
tersebar di seluruh Indonesia. DDII sendiri memiliki kantor pusat di Jl. Kramat
Raya No. 5 Jakarta dan memiliki masjid yang diberi nama al-Furqan.
Melalui DDII inilah, M. Natsir mengembangkan dakwah Islamiyah dengan tiga
pilar penting, yaitu masjid, pondok pesantren dan kampus. Masjid adalah lembaga
risalah, tempat mencetak umat yang beriman, beribadah, tempat menghubungkan
jiwa manusia dengan khaliknya, tempat mencetak umat yang beramal saleh dalam
kehidupan masyarakat dan tempat mencetak umat yang ber-akhlaqul karimah.
Dari masjid inilah diharapkan akan lahir jamaah yang kuat dan solid, bukan
hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah. Kedua adalah
pondok pesantren, dari pondok pesantren ini diharapkan akan lahir ulama, kiai,
dan ustadz yang memiliki komitmen dan semangat yang kuat mendakwahkan Islam ke
seluruh tanah air. Ketiga adalah kampus, dari kampus inilah diharapkan akan
lahir cendekiawan dan pemimpin diberbagai lapangan kehidupan.
Perpaduan ketiga pilar dakwah ini seharusnya bukan hanya perpaduan fisik,
tetapi juga persepsi, pemikiran dan amaliyah. Dengan kata lain, kaum
cendekiawan dan civitas akademika di kampus harus memahami pesantren dan
masjid. Kaum santri juga harus memahami kampus dan masjid. Betapa besar
kekuatan yang dapat dibangun jika kekuatan pesantren dan perguruan tinggi
bertemu dalam masjid. Jika kekuatan ini bersatu, niscaya akan menjadi modal
besar bagi pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai ketua DDII, Natsir juga mengembangkan dakwah dengan menyediakan
tenaga khatib dan mugaligh di sejumlah masjid di Jakarta. Para khatib dan
mubaligh ini sebelum diterjunkan diberikan arahan agar ketika menyampaikan
ajaran Islam hanya berpegang kepada al-Qur’an dan al-Hadits saja tanpa terikat
dan taklid terhadap mazhab tertentu. Ini dilakukan untuk mengantisipasi
ajaran-ajaran yang menyimpang agar umat yang menjadi sasaran dakwah tidak
tersesat. Selain menyediakan khatib dan mubaligh, DDII juga mengelola
penerbitan, percetakan, toko buku Media Dakwah dan lembaga pendidikan serta
menerbitkan majalah seperti: Buletin Dakwah, Majalah Serial Khutbah Jum’at,
Suara Masjid, Serial Media Dakwah dan majalah anak-anak Sahabat. Buku-buku
Islam juga diterbitkan seperti buku-buku karangan Natsir atau buku-buku
karangan anggota DDII yang lainnya baik yang dikarang sendiri maupun
terjemahan.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), DDII kemudian
merekomendasikan kepada siwa-siswi atau santrinya untuk melanjutkan pendidikan,
khususnya ke Timur Tengah. Sebagian dari mereka diberikan beasiswa dari DDII
dan sebagian lagi mendapatkan beasiswa dari negara-negara di Timur Tengah
melalui DDII.
C.
Metode
dan Pendekatan Pemikiran M. Natsir
Metode Dakwah (amr ma’ruf nahi mungkar) Melalui DDII inilah, M. Natsir mengembangkan
dakwah Islamiyah dengan tiga pilar penting, yaitu masjid, pondok pesantren dan
kampus. Masjid adalah lembaga risalah, tempat mencetak umat yang beriman,
beribadah, tempat menghubungkan jiwa manusia dengan khaliknya, tempat mencetak
umat yang beramal saleh dalam kehidupan masyarakat dan tempat mencetak umat
yang ber-akhlaqul karimah. Dari masjid inilah diharapkan akan lahir
jamaah yang kuat dan solid, bukan hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi
juga muamalah. Kedua adalah pondok pesantren, dari pondok pesantren ini
diharapkan akan lahir ulama, kiai, dan ustadz yang memiliki komitmen dan
semangat yang kuat mendakwahkan Islam ke seluruh tanah air. Ketiga adalah
kampus, dari kampus inilah diharapkan akan lahir cendekiawan dan pemimpin
diberbagai lapangan kehidupan.
Sedangkan pendekatan yang paling terlihat dari beliau
adalah pendekatan teologis dan historis walaupun dalam perjalanan pendidikan
beliau juga dipengaruhi oleh model pembelajaran Belanda pada saat itu. Namun
dari sisi lain beliau juga belajar di madrasah tempat belajar agama Islam.
D.
Kritikan
Terhadap Pemikiran M. Natsir
Begitu pun dengan pendiri awal bangsa ini, adalah Soekarno dan Muhammad
Natsir. Soekarno dengan ideologi nasionalisme-nya atau lebih tepat disebut
sebagai ideologi Sekularisme dengan Muhammad Natsir yang kokoh dengan keimananya
ingin mengemban Ideologi Islam dalam wujud negara. Muhammad Natsir banyak
menulis terkait masalah ini pada majalah Panji Islam dan Al Mannar. Perdebatan
muncul ketika Soekarno menulis artikel berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan
Antara Agama dan Negara”, Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi
yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki yakni pemisahan agama dari negara
sebagai langkah ”paling modern” dan ”paling radikal”. Kata Bung Karno: ”Agama
dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi
Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada
negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau mengatakan bahwa Turki adalah
anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan,
misalnya, Rusia“. Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang
dilakukan negara- negara Barat. Di negara-negara Barat, urusan agama diserahkan
kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan
sebagai urusan negara. Jadi kesimpulan Soekarno, buat keselamatan dunia dan
buat kesuburan agama bukan untuk mematikan agama itu,urusan dunia diberikan
kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama.
Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme
merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan
sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler.
Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20
M, bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam
–yang sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap
menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang
kelak akan didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari
pecahan Jong Java pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan
antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro sekuler.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
M. Natsir adalah sosok negarawan, pemikir
modernis, dan sekaligus mujahid dakwah. Gagasannya yang terkenal adalah
mengenai Islam dan negara (demokrasi), Islam dan pancasila, serta tentang
dakwah. Gagasan M. Natsir mengenai Islam, negara, dan politik ini dapat
dikategorikan sebagai pandangan yang moderat. Dalam arti, ia tidak mengharuskan
segala sesuatu kepada tradisi sejarah Islam yang pernah ada. Berkaitan dengan
kepala negara, ia amat luwes, tidak mengharuskan khalifah, presiden atau amirul
mu’minin. Baginya, yang terpenting adalah berjalannya ajaran Islam di
tengah-tengah masyarakat. Sepanjang hidupnya selama 84 tahun, M. Natsir
menjadikan dakwah sebagai perjuangan dan tidak pernah surut dari medan dakwah,
bahkan sampai ajal menjemputnya. Karena itulah, ia dapat dikatakan sebagai
maestro dan arsitek dakwah yang sulit dicari generasi penerusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Luth, Tohir, Muhamad
Natsir Dakwah dan pemikirannya, Jakarta : Gema Insani Press, 1999
Lofita Anas,
Nasmay, Mohammat Natsir Pemandu Ummat,Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara
hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir, Kementrian Agama RI, 2011
Lihat
Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad,
Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan
Negara hal 68).
Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar