BAB
I
PENDAHULUAN
Pada
massa nabi memang hadist dilarang untuk ditulis, meskipun demikian hal itu
tidak berarti hadits tidak ditulis sama sekali. Diantara para sahabat ada
beberapa orang yang mempunyai lembaran-lembaran catatan hadits. Misalnya
Abdullah ibn Amr ibn Ash, ia memiliki lembaran catatan hadits yang dikenal
dengan nama Al-Shahifah Al-Shodhikoh. Dinamakan demikian karena ia menulis hadits
secara langsung dari Nabi sendiri. Sehingga dipandang sebagai riwayat yang
paling benar[1].
Demikian pula Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik, mereka juga memiliki
cacatan-catatan hadits[2].
Hal ini tidak berarti mereka melanggar larangan nabi SAW di atas. Tetapi memang
ada riwayat lain yang menyatakan tentang izin dari Nabi SAW untuk menulis
hadits.
Dalam
suatu riwayat diceritakan, bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn Ash
untuk tidak menulis hadits secara terus menerus. Karena menurut mereka, Nabi
SAW kadang-kadang dalam keadaan marah sehingga ucapannya tidak termasuk
syari’ah. Perintah Nabi SAW menulis hadits-haditsnya juga terjadi pada saat
fathul Makkah. Disini ada dua riwayat yang berbeda mengenai penulisan hadits
pada masa Nabi SAW sebagai berikut:
Pertama, riwayat yang melarang
penulisan hadits dinasakh (dihapus) oleh riwayat yang mengizinkannnya.
Pelarangan dilakukan dengan maksud untuk menjaga kemurnian al-Qur’an agar
ayat-ayatnya tidak bercampur dengan selainnya. Oleh karena itu, ketika
kekhawatiran tersebut telah hilang, karena para sahabat telah dapat membedakan
antara ayat-ayat al-Qur’an dan yang bukan, maka kemudian Nabi SAW mengizinkan
mereka menulis hadits[3].
Kedua, pelarangan
menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan
hadits dan al-Qur’an, sedangkan izin diberikan kepada mereka yang tidak
dikhwatirkan mencampuradukkan keduanya, seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Atau,
pelarangan itu dimaksudkan untuk penulisah hadits secara resmi, sedangkan izin
diberikan bagi penulis hadits untuk diri sendiri (pribadi). Jadi, pelarangan
bersifat umum, sedangkan izin diberikan secara khusus kepada beberapa sahabat
tertentu[4].
Dengan
demikian, jelaslah bahwa pada Nabi SAW hadits telah mulai ditulis oleh beberapa
orang sahabat, meskipun hanya dalam jumlah terbatas dan bersifat pribadi.
Perkembangan hadits pada masa ini lebih banyak mengandalkan hafalan dan praktek
secara langsung.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian latar belakang di atas, maka dapat di ambil pertanyaan, yaitu :
Ø
Bagaimana
proses transmisi hadist pada massa sahabat ?
BAB
II
PEMBAHASAN
Di muka
telah dikemukakan, bahwa para sahabat tertentu telah menulis hadits pada saat
Nabi SAW masih hidup, dan bahkan dalam kesempatan tertentu Nabi SAW
mendektekannya kepada mereka. Jumlah sahabat yang menulis hadits tersebut jauh
lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah para ahli dibidang itu pada masa
berikutnya. Hal ini karena mereka lebih banyak menghafal hadits dari pada
menulisnya.
Diantara
para sahabat yang menulis hadits tersebut ada yang menyimpannya sebagai koleksi
pribadi dan kemudian meriwayatkannya kepada orang lain, ada juga yang berusaha
menlenyapkannya. Seperti pada khulafau al-Rosyidin :
Massa
Abu bakar al-Shiddiq
Menurut satu riwayat, suatu saat Abu Bakar pernah
melakukan pembakaran terhadap hadits-hadits yang ditulisnya. Ini berdasarkan
riwayat yang dikutip oleh al-Hakim bersumber dari ‘Aisyah r.a., diceritakan
bahwa ‘Aisyah berkata: “Ayahku (Abu Bakar) mengumpulkan hadits-hadits Nabi SAW
sebanyak 500 buah. Pada suatu malam beliau tampak resah sampai saya merasa
risau. Akhirnya saya bertanya, apakah ayah sedang sakit atau ada suatu hal yang
ayah dengar? Esoknya beliau menyuruhku untuk membawakan hadits-hadits yang ada
pada saya. Setelah kuberikan kepada beliau, beliau lalu membakarnya. Saya lalu
bertanya, mengapa ayah membakar hadits-hadits itu? Beliau menjawab” saya khawatir apabila saya mati
dan hadits-hadits itu masih ada padaku. Sebab hadits-hadits berasal dari orang
yang saya percayai, padahal itu tidak seperti yang beliau sampaikan kepadaku, maka
berarti saya telah menyebarluaskannya”.[5]
Menurut
Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (W. 748 H), sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail,
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi SAW yang pertama-tama menunjukkan
kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits.[6]
Dia tidak menerima hadits yang disampaikan seorang perawi sebelum perawi itu
menghadirkan saksi. Karena itu, pada masa kekhalifahan Abu Bakar kegiatan
periwayatan hadits berlangsung sangat terbatas bahkan nyaris tidak terdengar.
Hal ini barang kali disebabkan oleh adanya berbagai masalah yang membahayakan
Negara dan pemerintahan, seperti munculnya nabi palsu.[7]
Masa
Umar ibn al-Khatab
Umar
dikenal sangat hati-hati dalam masalah hadits, bahkan hingga dalam
penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh
Ubay ibn Ka’ab, ia baru bersedia menerima riwayat hadits itu setelah para
sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr, menyatakan telah mendengar pula
hadits seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[8]
Umar juga menekankan kepada para sahabat yang lain agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya agar masyarakat tidak terganggu
kosentrasinya dalam membaca dan mendalami al-Qur’an. Abu Hurairah yang kemudian
hari dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, terpaksa menahan
diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah
menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar,
niscaya dia akan dicambuk oleh umar.[9]
Masa
Utsman bin Affan
Kebijakan Utsman mengenai masalah hadist tidak setegas langkah Abu Bakar
dan Umar. Dalam sebuah khutbahnya, Utsman pernah menyampaikan seruan agar islam
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Utsman juga tidak banyak meriwayatkan
hadits. Ahmad Imam Ahmad meriwayatkan hadits Nabi SAW dari Utsman hanya sekitar
40 hadits saja.
Masa
Ali ibn Abi Thalib
Sebagai
khalifah terakhir ia meneruskan langkah para pendahulunya tentang
kehati-hatiannya dalam masalah hadits. Dalam kaitan ini, Ali baru bersedia
menerima hadits setelah yang bersangkutan menyatakan sumpah atas kebenaran
hadits yang disampaikannya. Namun berbeda dengan para pendahulunya, Ali
termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan meriwayatkan hadits, baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Dalam hal ini Ahmad Imam Ahmad telah meriwayatkan
hadits dari Ali ibn Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Hadits yang
diriwayatkan Ali dalam bentuk tulisan isinya berkisar tentang hukuman denda (dyat),
pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan melakukan
hukum balas (qishash) terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.[10]
Cara-Cara
Para Sahabat Meriwayatkan Hadits
Pada
dasarnya ada dua hal yang mendasari penyampaian hadits di zaman sahabat yaitu:
1. Kondisi politik
2. Metode sahabat dalam meriwayatkan hadits
a) Tidak memperbanyak dalam meriwayatkan hadits
b) Konfirmasi
c)
Larangan
menyampaikan hadits yang sulit dipahami oleh orang awam
Selain itu, menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, cara
sahabat-sahabat Nabi SAW meriwayatkan hadits ada dua yaitu:
a. Ada kalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal
yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Ada kalanya dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena lafalnya yang asli lagi dari Nabi
Memang mereka meriwayatkan
hadits adakalanya dengan makna-maknanya saja, yang penting dari hadits ialah
isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah
ada dan sama.
Berbeda dengan
meriwayatkan al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan
sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal
al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya
walaupun dengan sinonimnya, walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak
dibolehkan.
Karena itu, terdapat
hadits-hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal (matan). Lantaran
hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.[11]
Lafal-Lafal
yang Dipakai Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadits dan Derajatnya
Lafal-lafal yang dipakai
para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW, maupun
perbuatannya, para ahli ushul membaginya kepada lima derajat:
Ø Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah
seorang shahaby berkata, “sami’tu Rasulallahi yaqulu kadza….. (saya
dengar Rosul berkata begini……)”, atau “akhbarani…….(mengabarkan
kepadaku…..)”, atau “haddatsani……(menceritakan kepadaku)”, atau “syafahani……(berbicara
dihadapanku….)”.[12]
Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits. Riwayat yang
serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak
mendengar sendiri.
Ø Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata,
bersabda Rosul SAW. Begini, atau mengabarkan Rosul SAW. Begini, atau
menceritakan Rosul SAW. Begini. Riwayat ini zhahirny, sahabat tersebut
mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri. Ada kemungkinan
mendengar dari orang lain. biasa seorang berkata, bersabda Rosulullah atas
dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri tidak
mendengarnya.
Ø Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata,
“Rasul SAW menyuruh begini, atau menegah(melarang) ini…” ini dihukumi marfu’
menurut mazhab jumhur. Ada tiga kemungkinan hal ini.
a) Mungkin tidak dengar sendiri perintah tersebut.
b) Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan
pemahamannya saja.
c) Tentang umum dan khususnya[13]
Ø
Derajat
keempat ialah seorang shahaby berkata, “kami diperintahkan begini, atau
kami ditegah (dilarang) begini….”. Ini menerima ketiga kemungkinan(ihtimal)
yang telah diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang
yang menyuruh, mungkin Nabi SAW, mungkin orang lain[14]
Ø
Derajat kelima
ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat begini……” maka
jika disandarkan kepada zaman Rosul, member pengertian boleh. Contoh, perkataan
Abu Sa’id, “di zaman Rosul kami mengelurakan satu gantang gandum untuk zakat
fitrah”.[15]
Ketelitian
para shohabat dalam menerima hadist dari sesama shohabat
Sahabat Rasul SAW dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui
sepenuhnya isi alqur’an. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir (
perintah ) dan menjauhi dari segala nawahi ( larangan ). Apabila
mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul mereka segera mengajarkannya kepada
oprang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah
dan untuk mencari rahmat. Dengan demikian hadist-hadist segera tersebar di
kalangan umat. Maka apabila hadist itu terlupakan oleh seseorang, tetap ada
orang yang menghafalnya.
Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadist.
Mereka tidak menerima dari siapa saja. Mereka mengetahui ada hadist yang
menghalalkan dan ada hadist yang mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhon
yang kuat. Karena itu mereka memperhatikan rawi atau marwi. Mereka
tidak membanyakan penerimaan hadist, sebagaimana tidak membanyakan riwayat.
Syarat-syarat yang di tetapkan Abu bakar, Umar, dan Ali ketika
menerima hadist
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima
hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat di ingkari, bahwa
sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Dalam keterangan
beberapa Atsar, Abu bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak di
saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, seperti yang di riwayatkan oleh
Adz-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Hufadz.[16] Menuurut
keterangan Atsar, bahwa Ali tidak menerima Hadist sebelum yang meriwayatkan
itu di sumpah.
Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah, Asy-Syayuthi dalam Mistah
Al-jannah, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam,
Syaikhul Islam dan Syaikhol Islam Syubair Ahmad al-Ustmani dalam fath
Al-Mulhin Syarh Al-Muslim, menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan
beliau-beliau itu( Abu bakar dan Umar ) menerima riwayat orang seorang.
Maka pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah
keharusan, hanya cara untuk menyakinkan dalam menerima yang di beritakan itu.
Jadi, jika di rasakan tidak perlu meminta saksi atau sumpah perowi, dapatlah
kita menerima riwayatnya.
Ibnu Uyainah menetapkan
bahwa “di riwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshohihkan
Hadist.
Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan Hadist dan
mengumpulkannya dalam sebuah buku
Asy-Syaik Abu bakar
Ash-Shiqily berkata dalam faw’id-nya, menurut riwayat ibnu Basyqual, “para
sahabat tidak mengumpuilkan sunnah-sunnah Rosululloh dalam sebuah mushaf
sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah itu telah
tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dari di hafal dan yang tidak.
Karena itu ahlu sunnah menyerahkan perihal penukilan hadist kepada
hafalan-hafalan mereka saja, tidak
seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak menyerahkan penukilannya secara
demikian”.
Lafazd-lafazd sunnah tidak terjamin kesempurnaanya, sebagaimana
Alloh SWT telah menjaga al-qur’an dengan nazham-nya, yang paling indah
yang tidak dapat di ciptakan serupanya oleh manusia. Para sahabat berselisih
mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu
tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka
perselisihkan itu
BAB III
PENUTUP
Pada masa sahabat, hadist masih belum tersebar sangat luas, ini di
karenakan pada massa itu masih terjadi proses pengkondifikasian Al-qur’an, jadi
para sahabat dalam menyampaikan hadist sangat berhati-hati.
Dalam meriwayatkan hadist pun para sahabat mempunyai cara-cara
tersendiri, yaitu adakalanya dengan lafal asli dan adakalanya dalam makna
aslinya juga. Berbeda dengan Al-qur’an
yang harus dengan lafal dan maknanya yang asli juga, karena itu terdapat
hadist-hadist yang di riwayatkan dengan lafalnya. Lantaran hadist-hadist itu
diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.
Lafal-lafal yang dipakai oleh para sahabat dalam meriwayatkan
hadist pun ada tingkatan derajat, ada derajat yang paling kuat dan derajat
shohaby. Juga tentang ketelitian para sahabat dalam menerima hadist dari
sahabat lainnya, mereka sangat hati-hati dalam menerimanya.
Pada masa sahabat hadist belum sepenuhnya di bukukan dalam sebuah
buku, karena hadist-hadist itu tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan
yang di hafal dari yang tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddqy, Prof. Dr., Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist, PT. Pustaka rizki putra, semarang, 2009
Ahmad, Muhammad dan mudzakir, ULUMUL HADIST , CV. Pustaka
Setia, Bandung, 2000.
-----------, Al-Hadist, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
Yoyakarta, 2005.
[1] Abdul Majid
Hasyim al-Hasani, Ushul al-hidis al-Nabawi (Kairo:al-Qahirah al-Hadisah
li al-Talabah, tt.), hal 15.
[2]
M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta:Bukan Bintang,
1987), hal. 56.
[3]
Sa’di Yasin, al-Idah
fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Istilah (Beirut: Dar al-‘Arabiyah, 1971),
hal. 12.
[4]
Ash-Shiddieqy,
Sejarah …….., hal. 58-59.
[5]
M. M. Azami, Hadits
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Taqub (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), hal. 132-133
[6] Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah(Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hal. 42.
[7]
Ibid, hal. 43-44
[8]
Ibid, hal. 44
[9]
Ibid
[10]
Ibid, hal. 48.
[11]
Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,(semarang: 2009), hal. 39.
[12]
Segala yang
diriwayatkan dengan lafal-lafal ini, dipandang sabagai hujjah dengan tidak ada khilaf(bertentangan)
[13]
Menurut mazhab
Daud derajat ini tidak dapat dijadikan hujjah sebelum kita tahu
bagaimana lafal Rosul sendiri
[14]
Jumhur ulama
ber-hujjah dengan lafal riwayat ini.
[15]
Derajat ini
menjadi hujjah menurut pendapat al-Amidi, Ibnu Hajib dan Ash-Shafiyu
al-Hindy
[16]
.Tarikh
Tasri’Al-khudlori: 65-66
1 komentar:
Casino Finder (JTM) - JamBase
JTM is 김천 출장안마 a global leader in online 거제 출장샵 casinos and sports betting. The company offers an innovative, online and mobile 서귀포 출장마사지 experience. 경기도 출장안마 JTM has been 김천 출장샵 licensed by
Posting Komentar