CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 27 Januari 2012

Transmisi Hadits Pada Zaman Sahabat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada massa nabi memang hadist dilarang untuk ditulis, meskipun demikian hal itu tidak berarti hadits tidak ditulis sama sekali. Diantara para sahabat ada beberapa orang yang mempunyai lembaran-lembaran catatan hadits. Misalnya Abdullah ibn Amr ibn Ash, ia memiliki lembaran catatan hadits yang dikenal dengan nama Al-Shahifah Al-Shodhikoh. Dinamakan demikian karena ia menulis hadits secara langsung dari Nabi sendiri. Sehingga dipandang sebagai riwayat yang paling benar[1]. Demikian pula Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik, mereka juga memiliki cacatan-catatan hadits[2]. Hal ini tidak berarti mereka melanggar larangan nabi SAW di atas. Tetapi memang ada riwayat lain yang menyatakan tentang izin dari Nabi SAW untuk menulis hadits.
Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn Ash untuk tidak menulis hadits secara terus menerus. Karena menurut mereka, Nabi SAW kadang-kadang dalam keadaan marah sehingga ucapannya tidak termasuk syari’ah. Perintah Nabi SAW menulis hadits-haditsnya juga terjadi pada saat fathul Makkah. Disini ada dua riwayat yang berbeda mengenai penulisan hadits pada masa Nabi SAW sebagai berikut:
 Pertama, riwayat yang melarang penulisan hadits dinasakh (dihapus) oleh riwayat yang mengizinkannnya. Pelarangan dilakukan dengan maksud untuk menjaga kemurnian al-Qur’an agar ayat-ayatnya tidak bercampur dengan selainnya. Oleh karena itu, ketika kekhawatiran tersebut telah hilang, karena para sahabat telah dapat membedakan antara ayat-ayat al-Qur’an dan yang bukan, maka kemudian Nabi SAW mengizinkan mereka menulis hadits[3].
Kedua, pelarangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dan al-Qur’an, sedangkan izin diberikan kepada mereka yang tidak dikhwatirkan mencampuradukkan keduanya, seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Atau, pelarangan itu dimaksudkan untuk penulisah hadits secara resmi, sedangkan izin diberikan bagi penulis hadits untuk diri sendiri (pribadi). Jadi, pelarangan bersifat umum, sedangkan izin diberikan secara khusus kepada beberapa sahabat tertentu[4].
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada Nabi SAW hadits telah mulai ditulis oleh beberapa orang sahabat, meskipun hanya dalam jumlah terbatas dan bersifat pribadi. Perkembangan hadits pada masa ini lebih banyak mengandalkan hafalan dan praktek secara langsung.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat di ambil pertanyaan, yaitu :
Ø   Bagaimana proses transmisi hadist pada massa sahabat ?

BAB II
PEMBAHASAN
Di muka telah dikemukakan, bahwa para sahabat tertentu telah menulis hadits pada saat Nabi SAW masih hidup, dan bahkan dalam kesempatan tertentu Nabi SAW mendektekannya kepada mereka. Jumlah sahabat yang menulis hadits tersebut jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah para ahli dibidang itu pada masa berikutnya. Hal ini karena mereka lebih banyak menghafal hadits dari pada menulisnya.
Diantara para sahabat yang menulis hadits tersebut ada yang menyimpannya sebagai koleksi pribadi dan kemudian meriwayatkannya kepada orang lain, ada juga yang berusaha menlenyapkannya. Seperti pada khulafau al-Rosyidin :
Massa Abu bakar al-Shiddiq
Menurut satu riwayat, suatu saat Abu Bakar pernah melakukan pembakaran terhadap hadits-hadits yang ditulisnya. Ini berdasarkan riwayat yang dikutip oleh al-Hakim bersumber dari ‘Aisyah r.a., diceritakan bahwa ‘Aisyah berkata: “Ayahku (Abu Bakar) mengumpulkan hadits-hadits Nabi SAW sebanyak 500 buah. Pada suatu malam beliau tampak resah sampai saya merasa risau. Akhirnya saya bertanya, apakah ayah sedang sakit atau ada suatu hal yang ayah dengar? Esoknya beliau menyuruhku untuk membawakan hadits-hadits yang ada pada saya. Setelah kuberikan kepada beliau, beliau lalu membakarnya. Saya lalu bertanya, mengapa ayah membakar hadits-hadits itu? Beliau menjawab” saya khawatir apabila saya mati dan hadits-hadits itu masih ada padaku. Sebab hadits-hadits berasal dari orang yang saya percayai, padahal itu tidak seperti yang beliau sampaikan kepadaku, maka berarti saya telah menyebarluaskannya”.[5]
Menurut Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (W. 748 H), sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi SAW yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits.[6] Dia tidak menerima hadits yang disampaikan seorang perawi sebelum perawi itu menghadirkan saksi. Karena itu, pada masa kekhalifahan Abu Bakar kegiatan periwayatan hadits berlangsung sangat terbatas bahkan nyaris tidak terdengar. Hal ini barang kali disebabkan oleh adanya berbagai masalah yang membahayakan Negara dan pemerintahan, seperti munculnya nabi palsu.[7]
Masa Umar ibn al-Khatab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam masalah hadits, bahkan hingga dalam penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay ibn Ka’ab, ia baru bersedia menerima riwayat hadits itu setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr, menyatakan telah mendengar pula hadits seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[8] Umar juga menekankan kepada para sahabat yang lain agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya agar masyarakat tidak terganggu kosentrasinya dalam membaca dan mendalami al-Qur’an. Abu Hurairah yang kemudian hari dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh umar.[9]
Masa Utsman bin Affan
 Kebijakan Utsman mengenai masalah hadist tidak setegas langkah Abu Bakar dan Umar. Dalam sebuah khutbahnya, Utsman pernah menyampaikan seruan agar islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Utsman juga tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad Imam Ahmad meriwayatkan hadits Nabi SAW dari Utsman hanya sekitar 40 hadits saja.
Masa Ali ibn Abi Thalib
Sebagai khalifah terakhir ia meneruskan langkah para pendahulunya tentang kehati-hatiannya dalam masalah hadits. Dalam kaitan ini, Ali baru bersedia menerima hadits setelah yang bersangkutan menyatakan sumpah atas kebenaran hadits yang disampaikannya. Namun berbeda dengan para pendahulunya, Ali termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan meriwayatkan hadits, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam hal ini Ahmad Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Ali ibn Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Hadits yang diriwayatkan Ali dalam bentuk tulisan isinya berkisar tentang hukuman denda (dyat), pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan melakukan hukum balas (qishash) terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.[10]
Cara-Cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadits
Pada dasarnya ada dua hal yang mendasari penyampaian hadits di zaman sahabat yaitu:
1.      Kondisi politik
2.      Metode sahabat dalam meriwayatkan hadits
a)      Tidak memperbanyak dalam meriwayatkan hadits
b)      Konfirmasi
c)      Larangan menyampaikan hadits yang sulit dipahami oleh orang awam
Selain itu, menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, cara sahabat-sahabat Nabi SAW meriwayatkan hadits ada dua yaitu:
a.       Ada kalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.      Ada kalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena lafalnya yang asli lagi dari Nabi
Memang mereka meriwayatkan hadits adakalanya dengan makna-maknanya saja, yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan meriwayatkan al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya, walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan.
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal (matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.[11]

Lafal-Lafal yang Dipakai Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadits dan Derajatnya
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW, maupun perbuatannya, para ahli ushul membaginya kepada lima derajat:
Ø  Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, “sami’tu Rasulallahi yaqulu kadza….. (saya dengar Rosul berkata begini……)”, atau “akhbarani…….(mengabarkan kepadaku…..)”, atau “haddatsani……(menceritakan kepadaku)”, atau “syafahani……(berbicara dihadapanku….)”.[12] Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits. Riwayat yang serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak mendengar sendiri.
Ø  Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rosul SAW. Begini, atau mengabarkan Rosul SAW. Begini, atau menceritakan Rosul SAW. Begini. Riwayat ini zhahirny, sahabat tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri. Ada kemungkinan mendengar dari orang lain. biasa seorang berkata, bersabda Rosulullah atas dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mendengarnya.
Ø  Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasul SAW menyuruh begini, atau menegah(melarang) ini…” ini dihukumi marfu’ menurut mazhab jumhur. Ada tiga kemungkinan hal ini.
a)      Mungkin tidak dengar sendiri perintah tersebut.
b)      Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja.
c)      Tentang umum dan khususnya[13]
Ø  Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “kami diperintahkan begini, atau kami ditegah (dilarang) begini….”. Ini menerima ketiga kemungkinan(ihtimal) yang telah diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang yang menyuruh, mungkin Nabi SAW, mungkin orang lain[14]
Ø  Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat begini……” maka jika disandarkan kepada zaman Rosul, member pengertian boleh. Contoh, perkataan Abu Sa’id, “di zaman Rosul kami mengelurakan satu gantang gandum untuk zakat fitrah”.[15]


Ketelitian para shohabat dalam menerima hadist dari sesama shohabat
Sahabat Rasul SAW dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui sepenuhnya isi alqur’an. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir ( perintah ) dan menjauhi dari segala nawahi ( larangan ). Apabila mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul mereka segera mengajarkannya kepada oprang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah dan untuk mencari rahmat. Dengan demikian hadist-hadist segera tersebar di kalangan umat. Maka apabila hadist itu terlupakan oleh seseorang, tetap ada orang yang menghafalnya.
Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Mereka tidak menerima dari siapa saja. Mereka mengetahui ada hadist yang menghalalkan dan ada hadist yang mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhon yang kuat. Karena itu mereka memperhatikan rawi atau marwi. Mereka tidak membanyakan penerimaan hadist, sebagaimana tidak membanyakan riwayat.

Syarat-syarat yang di tetapkan Abu bakar, Umar, dan Ali ketika menerima hadist
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat di ingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Dalam keterangan beberapa Atsar, Abu bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, seperti yang di riwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Hufadz.[16] Menuurut keterangan Atsar, bahwa Ali tidak menerima Hadist sebelum yang meriwayatkan itu di sumpah.
Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah, Asy-Syayuthi dalam Mistah Al-jannah,  Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam, Syaikhul Islam dan Syaikhol Islam Syubair Ahmad al-Ustmani dalam fath Al-Mulhin Syarh Al-Muslim, menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan beliau-beliau itu( Abu bakar dan Umar ) menerima riwayat orang seorang.
Maka pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah keharusan, hanya cara untuk menyakinkan dalam menerima yang di beritakan itu. Jadi, jika di rasakan tidak perlu meminta saksi atau sumpah perowi, dapatlah kita menerima riwayatnya.
Ibnu Uyainah  menetapkan bahwa “di riwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshohihkan Hadist.

Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan Hadist dan mengumpulkannya dalam sebuah buku
Asy-Syaik Abu bakar Ash-Shiqily berkata dalam faw’id-nya, menurut riwayat ibnu Basyqual, “para sahabat tidak mengumpuilkan sunnah-sunnah Rosululloh dalam sebuah mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dari di hafal dan yang tidak. Karena itu ahlu sunnah menyerahkan perihal penukilan hadist kepada hafalan-hafalan  mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak menyerahkan penukilannya secara demikian”.
Lafazd-lafazd sunnah tidak terjamin kesempurnaanya, sebagaimana Alloh SWT telah menjaga al-qur’an dengan nazham-nya, yang paling indah yang tidak dapat di ciptakan serupanya oleh manusia. Para sahabat berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka perselisihkan itu

BAB III

PENUTUP
Pada masa sahabat, hadist masih belum tersebar sangat luas, ini di karenakan pada massa itu masih terjadi proses pengkondifikasian Al-qur’an, jadi para sahabat dalam menyampaikan hadist sangat berhati-hati.
Dalam meriwayatkan hadist pun para sahabat mempunyai cara-cara tersendiri, yaitu adakalanya dengan lafal asli dan adakalanya dalam makna aslinya juga. Berbeda dengan Al-qur’an  yang harus dengan lafal dan maknanya yang asli juga, karena itu terdapat hadist-hadist yang di riwayatkan dengan lafalnya. Lantaran hadist-hadist itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.
Lafal-lafal yang dipakai oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadist pun ada tingkatan derajat, ada derajat yang paling kuat dan derajat shohaby. Juga tentang ketelitian para sahabat dalam menerima hadist dari sahabat lainnya, mereka sangat hati-hati dalam menerimanya.
Pada masa sahabat hadist belum sepenuhnya di bukukan dalam sebuah buku, karena hadist-hadist itu tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan yang di hafal dari yang tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddqy, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, PT. Pustaka rizki putra, semarang, 2009
Ahmad, Muhammad dan mudzakir, ULUMUL HADIST , CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000.
-----------, Al-Hadist, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yoyakarta, 2005.



[1] Abdul Majid Hasyim al-Hasani, Ushul al-hidis al-Nabawi (Kairo:al-Qahirah al-Hadisah li al-Talabah, tt.), hal 15.
[2] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta:Bukan Bintang, 1987), hal. 56.
[3] Sa’di Yasin, al-Idah fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Istilah (Beirut: Dar al-‘Arabiyah, 1971), hal. 12.
[4] Ash-Shiddieqy, Sejarah …….., hal. 58-59.
[5] M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Taqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 132-133
[6] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu    Sejarah(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 42.
[7] Ibid, hal. 43-44
[8] Ibid, hal. 44
[9] Ibid
[10] Ibid, hal. 48.
[11] Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,(semarang: 2009), hal. 39.
[12] Segala yang diriwayatkan dengan lafal-lafal ini, dipandang sabagai hujjah dengan tidak ada khilaf(bertentangan)
[13] Menurut mazhab Daud derajat ini tidak dapat dijadikan hujjah sebelum kita tahu bagaimana lafal Rosul sendiri
[14] Jumhur ulama ber-hujjah dengan lafal riwayat ini.
[15] Derajat ini menjadi hujjah menurut pendapat al-Amidi, Ibnu Hajib dan Ash-Shafiyu al-Hindy
[16] .Tarikh Tasri’Al-khudlori: 65-66

1 komentar:

ursulenader

Casino Finder (JTM) - JamBase
JTM is 김천 출장안마 a global leader in online 거제 출장샵 casinos and sports betting. The company offers an innovative, online and mobile 서귀포 출장마사지 experience. 경기도 출장안마 JTM has been 김천 출장샵 licensed by

Posting Komentar