BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pada
dasarnya Allah SWT menciptakan umat manusia adalah untuk mengemban
tiga tugas suci, yaitu: sebagai hamba untuk beribadah kepada Allah,
sebagai Khalifah Allah SWT, sebagai inovator dalam kehidupan1.
Dari ketiga fungsi tersebut dipahami bahwa tugas manusia di muka bumi
ini pada hakikatnya hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dalam
masalah ibadah, ada dua macam ibadah yaitu ibadah mahdah
dan ibadah ghairu
mahdah. Ibadah
mahdah jenis dan tata caranya telah
diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara rinci dan mapan,
maka ibadah mahdah dalam Islam tidak mengalami perubahan. Namun,
ibadah yang ghoiru mahdah atau
muamalah
ruang lingkupnya sangatlah luas bahkan, al-Qur’an dan Sunnah Rasul
tidak mengaturnya secara rinci dan teknis, karena untuk member
peluang pada manusia agar menggunakan akalnya untuk dapat
mengembangkan prinsip-prinsip umum tentang muamalah
yang diatur dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Termasuk di dalamnya
masalah kenegaraan sesuai dengan tingkat penalaran, kebutuhan, dan
masalah-masalah yang dihadapi manusia sesuai dengan tempat dan waktu.
Dalam
masalah kenegaraan ada hal yang mendasar yang sampai sekarang
diperdebatkan para pakar yaitu apakah mendirikan Daulah
Islamiyah merupakan keharusan atau
tidak. Sementara sebagian pakar mengatakan hal itu merupakan
kewajiban agama dan ada juga yang mengatakan hal itu tidak wajib.2
- Rumusan Masalah
Dari
pemaparan pada latar belakang, maka kita dapat menggambil rumusan
masalah sebagai berikut:
- Bagaimana pengertian khilafah?
- bagaimana sejarah khilafah dalam islam?
- Bagaimana relasi agama dan Negara?
- Bagaimana pendapat ulama kontemporer Indonesia jika kekhilafahan diterapkan di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Khilafah
Pengertian
khilafah:kata khilafah disebutkan dalam al-qamus artinya adalah umat
yang melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya
adalah orang yang duduk setelahhmu.
Al-khilafah
adalah penguasa tertinggi. Bentuk plural al-khalif adalah, khula’if,
dan khulafa’. Arti kalimat khalafahu khilafatan kana khalifatuhu
adalah ia meninggalkan jabatan khalifah kepada orang yang menjadi
penggantinya.
Makna
etimologis kata dasar ini berikut derivasinya sebagaimana dipahami
dari buku-buku bahasa pada dasarnya adalah sama. Yaitu, kata
al-khalif, al-khulafa’, dan al-khala’if adalah orang yang
menggantikan dan mengikuti jejak langkah pendahulunya.
Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan
Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang fasik.3
Khilafah (bahasa Arab: خلافة),
adalah kepemimpinan, imamah, biasa juga disebut kekhalifahan. Ia
merupakan satu bentuk pemerintahan Islam. Pemimpin atau ketua
pemerintahannya dinamakan khalifah.
Menurut al-Quran segala sesuatu di Bumi ini
termasuk daya dan kemampuan yang diperolehi seseorang hanyalah kurnia
daripada Allah (swt). Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah
atau wakil Allah (Yang Maha Memiliki) supaya mereka dapat menggunakan
kurnia tersebut sesuai dengan keridhaan-Nya.
Khalifah dianggap sebagai pewaris Nabi Muhammad
s.a.w. Mengikut Sunah Waljamaah, khalifah dilantik oleh rakyat atau
wakilnya, sedangkah pengikut Syiah menganggap hanya Ahlul Bait yang
berhak menjadi khalifah.4
Adapun
khilafah secara terminologi
adalah jabatan keagamaan yang dipegang oleh imam a’zham (penguasa
tertinggi atau kepala negara) dalam mengurus berbagai permasalahan
dan menjalankan syari’at allah. Khilafah bias pula diartikan dengan
menggantikan (kekuasaan) orang lain untuk mewujudkan kemaslahatan
umat, ada kalanya karena yang diganti itu meninggal dunia atau karena
ia berpergian, atau karena ketidakmampuannya.5
Menurut
ibnu kholdun, khilafah adalah membawa seluruh manusia kepada sesuatu
yang dipandang benar oleh syari’at (agama), baik dalam
kemaslakhatan akhirat, ataupun kemaslakhatan dunia yang
kepentingannya kembali pada kemaslakhatan akhirat, sebab segala
bentuk permasalahan dunia harus diperuntukkan bagi kemaslahatan
akhirat. Jadi esensi khilafah adalah
menjalankan kekuasaan dimuka bumi untuk menjaga agama dan mengatur
dunia dengan agama itu. Hakikat jabatan ini adalah menjaga agama
serta mengatur dunia dengan agama itu. System ini dinamakan khilafah
dan imamah sedang yang menjalankannya disebut khilafah dan imam6.
Berdasarkan
pengertian ini maka khilafah adalah system pemerintahan islam yang
menjadikan syari’at islam sebagai undang-undangnya.
Prof.Dr.
al-Quraibi menyimpulkan bahwa khilafah adalah jabatan public atau
kepemimpinan umum bagi umat dalam urusan dunia dan agama. Sebab,
khilafah adalah penerus Rasulullah SAW dalam menegakkan agama yang
wajib diikuti semua orang. Dengan demikian, kewajiban umat untuk
menaati dan mengikuti Rasulullah SAW beserta yang sudah beliau
lakukan dalam menjalankan agama Allah di muka bumi, berlaku pula
untuk khalifah pengganti beliau.
Sedangkan
menurut para pakar kontemporer devinisi daulah khilafah adalah:
- Bluntechli dari Swiss adalah sekelompok orang yang independent, hidup permanen di suatu tempat tertentu, dan ada kelompok yang memimpin dan dipimpin.
- Wahid Rafat adalah sekelompok orang yang sangat banyak memempati tempat tertentu dengan permanen pada belahan bumi serta tunduk pada pemimpin yang mengatur keberadaan kelompok tersebut dan mengurus permasalahan-permasalahan demi kebaikan kelompok itu secara umum.7
- Sejarah Khilafah dalam Islam
Meski
sudah diketahui secara bahasa, namun pada awal kemunculannya khilafah
adalah term baru yang baru familiar di tanah arab, juga belum popular
di tengah system-sistem global yang ada pada saat itu. Umat islamlah
yang pertama kali memperkenalkan istilah ini dan tidak ada komunitas
masyarakat selain mereka yang menggunakannya. Walaupun pada saat itu
sudah banyak istilah untuk menamakan system pemerintahan seperti
al-Malik (raja), sulthan (sultan), al-Imbrathur (kaisar), az-Za’im
(pemimpin), dan lain-lain.
Negara
islam (darus,-sasalam) secara efektif berdiri setelah Nabi berhijrah
dan membentuk pemerintahan di kota Madinah. Bentuk strukturnya adalah
Nabi tinggal di samping masjid, salah satu kegiatan rutin beliau
adalah memberi pengajian di masjid dengan jama'ah muslim yang ada.
Bila ada masalah kenegaraan, Nabi dan para sahabatnya membahasnya
ditempat itu juga dengan audience yang sama. Nabi menerima laporan
dan memberikan perintah negara di masjid beliau. Menjadi kepala
negara sepertinya adalah pekerjaan sambilan Nabi. Nabi tidak
memusatkan perhatiannya untuk membangun institusi kenegaraan yang
mengurus negara. Tidak ada pos-pos kementrian, tidak ada organisasi
militer, tidak ada tentara dan aparat yang digaji negara. Pengurusan
negara dilakukan seperti sebuah kepanitiaan. jika ada satu proyek
negara, misalnya perang, pengumpulan zakat, dan lain sebagainya Nabi
menunjuk seorang sahabat untuk memimpinnya. Sedangkan sahabat yang
lain akan membantunya dalam struktur yang lepas. Semuanya dilakukan
secara sukarela, tidak ada gaji, tetapi bila ada keuntungan (misalnya
rampasan perang) mereka akan mendapat bagiannya. Pusat
pemerintahannya adalah Nabi sendiri. Beliau memegang kekuasaan
eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Jika nabi telah memutuskan,
maka ummatnya "sami;na wa ato'na"(dengarkan dan
laksanakan). Tidak ada lembaga kontrol. jika Nabi salah , allah
sendiri yang akan menegur melalui wahyunya atau malaikatnya sehingga
Rasulullah langsung mendapat kontrol dari Allah.
Sebelum
mengambil keputusan, beliau kadang meminta pendapat para sahabatnya.
akan tetapi keputusan terakhir mutlak ditangan nabi. beliau tidak
terikat dengan masukan dari sahabat. Bisa jadi keputusan nabi berbeda
dengan masukan sahabat, tetapi setelah nabi menetapkan, wajib bagi
umat islam untuk taat kepada keputusan nabi. Pemerintahan yang
berpusat pada nabi mulai mengalami kekacauan setelah nabi wafat.
Karena pada dasarnya ketika Nabi masih hidup Nabi tidak pernah
memberikan gaya pemerintahan dan tidak pernah menentukan siapa
penggantinya, dengan cara bagaimana penggantinya dipilih dan apa saja
wewenang penggantinya.
Sampai
wafat beliau, rasulullah saw tidak pernah meltakakan suatu atuaran
yang terinci bagi pemerintahan islam. Akan tetapi apa yang beliau
bawa dari sisi allah untuk mengatur dasar-dasar prilaku dan pergaulan
umat manusia merupakan mukaddimah bagi struktur politik yang mantap.
Pada
mulanya pada masa nabi perkembangan struktur politik dalam islam
berjalan lamban. Baru ketika tampuk kekhalifahan dipegang abu bakar,
tepatnya khalifah berhasil menundukkan aksi kemurtadan,
perkembangannya mulai tampak jelas. Namun, bagitu wilayah penaklukkan
wilayah islam terus meluas, muncullah factor-faktor luar yang ikut
mempengharui perkembangan tersebut. Celakanya, pengaruh luar ini
justru seringkali menjauhui kaidah-kaidah islam dan bahkan
bertentangan dengannya.
Sejumlah
yang berlaku di romawi dan Persia telah mempengharui system
pemerintahan islam. Ini dimulai ketika khalifah umar membentuk
cabinet, yang kemudian semakin besar pada masa utsman. Ketika
pemerintahan muawiyah berdiri dan damskus menjadi pusat
pemerintahannya, factor-faktor luar tersebut semakin mempengharui
bingkai luar pemerintah islam, sehingga orang arab menjadi dominan
sebab orang-orang arab masih memegang jabatan penting pemerintahan.
Baru setelah tampuk kepemimimpinan berpindah ke bani abbasiah,
pengaruh luar semakin tampak jelas. Karena, yang menguasai
urusan-urusan penting Negara bukan lagi orang arab, melainkan telah
jatuh ke tangan Persia.
Pada
masa pemerintahan bani Abbasyiah usaha penerjemahan filsafat yunani
kedalam bahasa arab menonjol dan mendapat perhatian serius. Itu
sebabnya teori-teori filsafat turut mewarnai tata pemerintahan islam.
Dalam
masa itu, system yang berlaku dipersia dan romawi menjadikan waliyul
amri sebagai penguasa mutlak, sehingga
gagasan dan konsep dasar yang berkembang dalam pemerintahan amat
bertentangan dengan yang pernah ada pada masa awal islam. Meluasnya
konsep pemerintahan mutlak (diktakur) yang berpindah dari tangan
amiril mukminin
kepada para penguasa pemegang jabatan penting Negara berpengaruh
dalam mengarahkan kehidupan umat manusia.8
- Relasi Agama dan Negara
- Definisi Agama
Agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti
tradisi, tidak bergerak, peraturan menurut konsep Veda. Sedangkan
dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ” Agama adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebutdengan nama
Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut”
Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
Taat, takut dan setia, paksaan,tekanan, penghambaan, perendahan diri,
pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasan, adat, pengalaman hidup,
perhitungan amal. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah
milah.Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan,
aturan, hukum, tata tertib,atau doktrin dari din itu.
Sedangkan Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan
bahwa agama padaumumnya merupakan suatu sistema credo ’tata
keimanan’ atau ’tata keyakinan’ atasadanya suatu yang mutlak
diluar mansia. Selain itu ia juga merupakan sistema ritus ’tata
peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap Yang Mutlak, juga
sebagai sistemanorma ’tata kaidah’ yang mengatur hubungan antar
manusia serta manusia dengan alamlainnya sesuai dan sejalan dengan
tata keimanan dan tata peribadahan itu.
- Definisi Negara
Definisi negara dalam Kamu Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa negara adalah suatu kelompok sosial yang menduduki
wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasidibawah lembaga politik
dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Adapun pengertian
Negra menurut para ahli antara lain:
- Georg Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
- Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
- Roger H. Soltau: Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur ataumengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat
- Prof. Mr. Soenarko: Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerahtertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
- Aristoteles: Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa,hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangandan kehormatan bersama.
Sedangkan
di dalam al-Qur’an ada kata-kata balad
disebut sampai Sembilan kali, kata
bilad disebut
lima kali, dan kata-kata baldah disebut
lima kali, bahkan lebih menarik lagi, adanya suatu surat yang bernama
“Balad”
surat kesembilan puluh yang mengisahkan kota Mekkah, tembat tinggal
Rasulullah SAW. Baldah adalah
daerah yang merupakan satu bagian tertentu dari balad,
kata jamaknya adalah bilad.
Kata balad
tersebut diterjemahkan dengan negeri, daerah, wilayah, yang menjadi
satu unsure berdirinya suatu Negara.9
Sedangkan kata dawlah dan
dulah
bermakna bergiliran baik dalam harta dan perang. Ada yang mengatakan
dulah
kusus dalam masalah harta, dawlah dalam
hal perang jamaknya duwal dan
diwal.
Al-Zujaj berkata dulah adalah
nama suatu yang bergiliran. Namun dalam bahasa politik kata duwal
sering diartikan dengan Negara atau
pemerintahan.
Menurut
R. Kranen Burg, Negara adalah organisasi kekuasaan yang diciptakan
kelompok manusia yang disebut bangsa. Adapun menurut Logeman, Negara
adalah organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang
disebut bangsa. Negara bias berdiri jika terpenuhi unsur-unsur pokok
yaitu, umat, territorial, dan pemerintahan. Umat atau rakyat adalah
dasar keberadaan masyarakat atau manusia. Territorial adalah dasar
keberadaan materi. Pemerintahan adalah dasar keberadaan maknawi yaitu
kumpulan pribadi secara maknawi.
Dari
pengertian tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa Negara adalah
suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah
pejabat dan berhasil menuntuk waraga negaranya taat pada peraturan
perundang-undangan melalui control politis dari kekuasaan yang sah
(Budiarjo, 1987:30)
Dalam
pandangan al-Baqillani (1966:56), salah satu ulama sunni yang
berpengaruh, Negara adalah rakyat yang kemudian didukung ulama
politik sunni lainnya, seprti al-Mawardi (1983:8) yang meletakkan
supremasi rakyat sebagai Negara di atas kekuasaan imam. Sedangkan
pandangan lainnya, seperti pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah (1953:3) lebih mencitrakan Negara pada kerangka syari’ah
dalam semua aspek tuntutan kemanusiaan dalam Negara itu.
Adapun
beberapa pendapat lain dari pemikir Islam sekarang, di antaranya
adalah pemikiran Wahid Ra’fat yang mendefinisikan bahwa Negara
adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu belahan
dunia tertentu di dunia ini yang tunduk pada suatu pemerintahan yang
teratur yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya,
mengurus segala kepentingannya, dan kemaslahatan umat berdasarkan
norma-norma agama. Sedangkan Abdul Hamid Mutawwali mendefinisikan
bahwa Negara adalah suatu instiutsi abstrak yang terwujudkan dalam
sebuah konstitusi untuk suatu masyarakat dan memiliki kekuasaan umum
dalam kerangka teokrasi.
Sementara
itu, bangsa muncul dari kesamaan pengalaman sejarah dan tidak melalui
penetapan yang bersifat memaksa. Di beberapa wilayah, kemunculan
bangsa identik dengan etnik tertentu. Namun, di wilayah lain, seperti
Indonesia, ada berbagai entik yang mengklaim dirinya sebagai sebuah
bangsa sehingga konsep bangsa selalu memiliki kandungan historis dan
politis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa lebih
merupakan konsep untuk menggambarkan komunitas tertentu. Berbeda
dengan Negara yang memiliki kepastian hukum dan batas-batas yang
jelas, maka manka bangsa sebagai sebuah konsep sangat bergantung pada
komunitas yang menggunakannya dan juga pada kekuatan-kekuatan social
di dalam komunitas tersebut.10
Dalam
sejarah Indonesia, Negara bangsa muncul sejalan dengan gerakan
nasionalisme di dalam kehidupan masyarakat. Konsep Negara bangsa
selalu didengungkan setiap 20 Mei yang dikenal dengan Hari
Kebangkitan Nasional yang esensinya selalu berangkat dari
nasionalisme. Ungkapan konsep “bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh” merupakan kalimat yang kerap kali diucapkan Soekarno
terutama kala mencoba mengobarkan semangat persatuan rakyat dalam
melawan Neokolonialisme tahun 60-an menjadi symbol pemersatu bangsa
Indinesia sampai saat ini. Konsep persatuan dan nasionalisme tersebut
bagi beberapa kalangan merupakan yang seharusnya, hal ini menurut
mereka disebabkan oleh:
- Kawasan Indonesia mempunyai warna etnik yang sangat pluralistic, dihuni oleh kelompok-kelompok etnik dalam jumlah besar, serta paham keagamaan yang berbeda. Orde penyeragaman sebagai brand image pada masa rezim Orde Baru dengan menggunakan trilogy pembangunan berupa stabilitas, pertumbuhan pemerataan ekonomi berdasarkan Pancasila yang kemudian dijadikan konsekuensi atas kepatuhan rakyat Indonesia merupakan jalan ampuh.
- Konsep Negara bangsa merupakan suatu konsep yang lebih demokratis, pluralis, dan egalistis. Pelaksanaan civil society merupakan salah satu momentum kebangkitan bangsa. Dengan kata lain, Negara bangsa merupkan sebuah konsep Negara yang dikonstruk atas dasar kebangsaan.
Semenara
itu, Negara syari’ah dalam
konteks ini diambil dari pemahaman umum masyarakat Indonesia, yaitu
Negara yang melaksanakan seluruh hokum Islam, baik secara tekstual
ada dalam al-Qur’an dan hadits maupun hokum Islam sebagai hasil
ijtihad ulama atas nas dan hadits. Jelasnya Negara syari’at
adalah Negara islam itu sendiri.11
Dari
pemaparan sekilas mengenai istilah Negara, pasti kita tidak asing
lagi tentang perbedaan di kalangan para pakar tentang hubungannya
agama dalam ranah Negara atau politik dan ataukah agama hanya
mengurusi akhirat saja, dalam artian hanya memperhatikan hubungan
makhluk dengan Tuhannya. Hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah
yang belum tuntas terselesaikan. Namun ada pula yang yang berpendapat
bahwa agama adalah Negara dan agama tidak akan bias dipisahkan.
Term agama dan Negara yang dimaksud disini adalah
agama dan Negara dalam wujud sekarang yang sudah melembaga. Agama
dalam pengertian asalanya adalah suatu sistem nilai atau ajaran atau
kesadaran moral spiritual yang diyakini benar oleh penganutnya untuk
dijadikan pandangan dan pedoman hidup. Untuk islam, ajaran tersebut
bersumber pada wahyu allah swt, yakni alqur’an dan as sunnah. Namun
dalam perkembangannya hingga hari ini, agama bukan saja sebagai
sistem nilai ajaran dan kesadaran moral spiritual sebagaimana
asalanya, akan tetapi telah berubah menjadi lembaga atau badan
organisasi.
Para sosiolog teoretisi politik islam merumuskan
beberapa teori tentang hubungan agama dan Negara. Teori-teori
tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma
pemikiran, yaitu:
- Paradigma integralistik (agama dan Negara menjadi satu)
Dalam paradigma integralistik, agama dan Negara
menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau Negara. Negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut
paradigma ini, kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar
kedaulatan ilahi, karena pendukung paradigm ini meyakini bahwa
kedaulatan berasal dan berada ditangan tuhan.
Abdul Qadim Zallum mengatakan Negara Islam berdiri
di atas landasan akidah Islam, dan akidah inilah yang menjadi
asasnya. Secara syari, akidah Islam dalam keadaan apapun, tidak boleh
terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali ketika Rasulloh
membangun sebuah pemerintahan di Madinah serta memimpin pemerintahan
di sana, beliau segera membangun kekuasaanya dan pemerintahannya
dengan landasan akidah Islam.
Akidah Islamiah merupakan pemikiran politik,
akidah termasuk pemikiran politik bahkan asas pemikiran politik bagi
orang Islam. Hal itu merupakan pikiran atau undang-undang agama dan
negara. Agama tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat, tidak
memisahkan antara maslahah pribadi dan maslahah kelompok. Bahkn
merealisasikan pribadi dan kelompok di dunia dan akhirat12.
Islam tidak akan terealisasi seperti yang
dikendahi oleh Allah swt kecuali jika ada pemerintahan yang
menerapkan hukum-hukum Islam pada segala aspek, politik, ekonomi,
peradilan, dan hubungan internasional13.
Kita harus tegas menghadapi sekularisme dan para provokatornya dengan
menegaskan keuniversalan Islam. Dan menampakkan sisi yang berkembang
dari hukum-hukum ajaran Islam yaitu negara dan aturannya, pengarahan
hukum-hukuim serta adabnya. Serta mengumumkan bahwa semua itu adalah
bagian yang tidak terpecah-pecah dari aturan Islam yang sarat dengan
keuniversalan dari zaman ke zaman, tempat, serta manusia14.
Menurut Muhammad imarah, dalam islam hubungan
antara agama dan negara yang bersifat ketberbeda dengan yang ada pada
Kristen, yaitu tidak bercampur baur dan tidak terpisahkan. Islam
tidak memisahkan antara yang bersifat ketuhanan dengan yang berisfat
kemanusiaan, antara yang qati dan yang berubah.15
Dengan demikian, dalam perspektif paradigma
integralistik pemberlakuan dan penerapan hukum islam sebagai hukum
positif Negara adalah hal yang niscaya sebagaimana dinyatakan Imam
Khomeni dalam Negara islam wewenang
menetapkan hukum berada pada tuhan. Tiada seorangpun berhak
menetapkan hukum dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari tuhan.
Oleh Karena itu, dalam paham ini rakyat yang
menaati segala ketentuan Negara berarti ia taat kepada agama,
sebaliknya, memberontak dan melawan Negara berarti melawan agama dan
juga melawan tuhan.
- Paradigma simbiotik (hubungan timbale balik)
Agama dan Negara, menurut paradigma ini,
berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat
timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan
Negara karena dengan Negara, agama dapat berkembang sebaliknya,
Negara juga memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan
dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara
simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Dalam kerangka hubungan simbiotik ini, ibnu
taimiyah dalam assiyasah assyar’iyyah juga mengatakan sesungguhnya
adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban
agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan Negara, agama tidak bisa
berdiri tegak.
- Paradigma sekularistik (memisahkan agama dan negara)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas.
Paradigma sekularistik yaitu paradigma yang memisahkan agama dengan
Negara dalam konteks islam, paradigma ini menolak pendasaran Negara
kepada islam, atau paling tidak, menolak determinasi islam pada
bentuk tertentu dari Negara.
Abdul ar-raziq mengatakan bahwa islam hanya
sekedar agama dan tidak mencakup urusan Negara. Islam tidak
menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan
kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana
mereka harus diperintah, tapi islam telah memberikan kita kebebasan
mutlak untuk mengorganisasikan Negara sesuai dengan kondisi
intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan
mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Menurut Abid al-Jabiri, untuk mengetahui pemahaman
istilah-istilah pemisahan agama dari Negara secara klasik adalah:
pertama,
dalam sejarah islam tidak terdapat perbedaan atau pemisahan antara
agaman dan Negara, dan tidak ada penguasa dalam sejarah Islam yang
tidak mengatasnamakan agama. Karena tidak seorang pemimpinpun yang
mampu menjalankan hukumnya dengan tanpa mengatasnamakan khidmah
(pengapdian) pada agama. Kedua,
dalam sejarah Islam, tidak ada instansi khusus yang menangani urusan
agama yang terpisah dari Negara. Para fuqaha’
tidak mengorganisir dirinya, tetapi berijtihad dan berfatwa secara
individu.16
Dengan demikian, menurut paradigma ini, hukum
islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu
wilayah tertentu. Disamping itu, hukum islam tidak dapat dijadikan
hukum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.
- Pendapat Ulama Kontemporer Indonesia Jika Kekhilafahan Diterapkan Di Indonesia
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Asbabu
nuzul ayat diatas adalah:
Imam
Ahmad meriwayatkan sebuah hadis demikian pula Imam Muslim dan selain
mereka berdua ada juga dari jalur Barra bin Azib. Ia berkata, "Pada
suatu hari lewat di hadapan Nabi saw. seorang Yahudi yang dalam
keadaan dicorengi dengan arang dan didera. Kemudian Nabi saw.
memanggil mereka, dan bersabda kepada mereka, 'Apakah memang demikian
kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman pelaku zina?' Mereka
menjawab, 'Ya.' Lalu beliau memanggil orang yang paling alim (ulama)
di antara mereka dan bersabda kepadanya, 'Aku mohon atas nama Allah
yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa a.s. apakah memang
demikian kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman bagi pelaku
zina?' Orang alim itu menjawab, 'Demi Allah! Sebenarnya tidak
demikian, seandainya engkau tidak menganjurkan kepada diriku supaya
mengemukakan yang sebenarnya niscaya aku tidak akan menceritakannya
kepadamu. Sebenarnya engkau dapat menemukan hukuman rajam bagi pelaku
zina di dalam kitab kami. Akan tetapi setelah banyak para pelaku zina
dari kalangan orang-orang kami yang terhormat, hukuman itu kami
batalkan, apabila ada seseorang yang lemah dari kalangan kami
melakukannya, maka kami tegakkan hukuman had itu atasnya. Setelah itu
kami sepakat untuk membuat suatu hukum yang dapat ditegakkan terhadap
orang yang mulia dan hina. Akhirnya kami sepakat untuk menetapkan
hukuman pencorengan dengan arang dan dera bagi pelaku zina.' Setelah
itu Nabi saw. bersabda, 'Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah orang
pertama yang kembali menghidupkan perintah-Mu setelah mereka (kaum
Ahli Kitab) matikan.' Kemudian beliau memerintahkannya agar dihukum
rajam. Setelah itu lalu turunlah ayat, 'Hai Rasul! Janganlah engkau
dibuat sedih oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan)
kekafirannya...' (Q.S. Al-Maidah 41) sampai dengan firman-Nya, 'Jika
kamu diberi ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka), maka
terimalah...' (Q.S. Al-Maidah 41). Mereka mengatakan, 'Datanglah kamu
sekalian kepada Muhammad, jika ia memberi fatwa kepadamu dengan
hukuman pencorengan dengan arang dan hukuman dera (bagi pelaku zina),
maka turutilah kehendaknya olehmu. Dan jika memberi fatwa kepadamu
agar kamu menegakkan hukuman rajam, maka hati-hatilah kamu.' Ayat di
atas berkaitan dengan ayat-ayat sesudahnya sampai dengan firman-Nya,
'Barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang zalim.'" (Q.S. Al-Maidah 45).
Menurut
mantan Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan,
syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup
diamalkan oleh orang Islam. "Pada
level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama
tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di
level negara," kata Hasyim.
Lebih lanjut menurutnya,
di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, pemaksaan
penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan
persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.
Secara
terpisah, cendekiawan Islam Azyumardi Azra menilai penerapan syariat
Islam secara resmi oleh negara dinilai tidak tepat. Azyumardi sepakat
bahwa setiap Muslim harus mencintai syariat Islam dan menerapkannya
pada kehidupan mereka, apalagi hasil survei menyebutkan mayoritas
masyarakat Indonesia mendukung pelaksanaan syariat.
Tetapi,
ia menolak jika syariat diterapkan sebagai hukum positif oleh negara.
Menurutnya, nilai-nilai syariat cukup diperkenalkan kepada negara
sebagai salah satu sumber hukum dan itu sudah berjalan baik. Sudah
banyak muamalah bagian dari syariat yang telah diadopsi oleh negara,
seperti perkawinan yang telah diadopsi dalam UU Perkawinan (ANTARA
News, 27 Juli 2007).
Pendapat
serupa dikatakan juga oleh Luthfi Assyaukani dalam Koran Tempo 24
April 2001. Ia
menyatakan, yang harus diperjuangkan sekarang ini bukanlah bagaimana
menerapkan hukum Islam secara formalistik, tapi memasukkan
norma-norma (baca; moralitas) Islam ke dalam hukum positif Indonesia.
Dalam
Islam, perdebatan dalam suatu perkara sebenarnya sah-sah saja selama
berlandaskan kepada dalil-dalil yang kuat. Pendapat tanpa dalil
dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai apa-apa. Maka kalau
sekedar pendapat pribadi yang didasarkan pada logika semata,
sementara dalil dan fakta tidak mendukung, otomatis pendapat tersebut
tertolak.17
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian
khilafah:kata khilafah disebutkan dalam al-qamus artinya adalah umat
yang melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya
adalah orang yang duduk setelahhmu.
Al-khilafah
adalah penguasa tertinggi. Bentuk plural al-khalif adalah, khula’if,
dan khulafa’. Arti kalimat khalafahu khilafatan kana khalifatuhu
adalah ia meninggalkan jabatan khalifah kepada orang yang menjadi
penggantinya.
Sejarah
khilafah adalah sebuah system pemerintahan yang pertama kali
diterapkan oleh umat islam. Namun, pada waktu itu Rosulullah sendiri
tidak memberikan gambaran lengkap mengenai kekhilafahan itu sendiri
sehingga ketika beliau wafat para sahabat kebingungan dalam
menentukan siapa pengganti beliau. Maka munculah system kekhilafahan.
Namun, beriringan dengan luasnya wilayah islam, system khilafah
tercampur dengan model romawi dan Persia yang menjadikan penguasa itu
memegang kekuasaan yang mutlak (diktatur).
Dari
sanalah banyak perbedaan tentang kedudukan Negara dan Agama. Menurut
para pakar mengenai hal ini ada tiga point penting yaitu Paradigma
integralistik (agama dan Negara menjadi satu), Paradigma
simbiotik (hubungan timbale balik), dan Paradigma sekularistik
(memisahkan agama dan negara).
DAFTAR
PUSTAKA
al-Qardlawi, Yusuf, 1995. Fi
al-Thariq ila Allah, Kairo: Maktabah Wahbab
Toriquddin, Moh, 2009. Realisasi
Agama dan Negara, Malang: UIN-Malang Press
www.wikipedia.com
al-Quraibi, Ibrahim, 2009. Tarikh
khulafa’, Jakarta: Qisthi Prees
Mukaddimah ibn khaldun, jilid I hlm.
159
Husein, Muhammad haikal,1993,
Pemerintahan Islam. Jakarta : pustaka firdaus
Hadi, Syechul Purmono, 1992,
Pemerintahan
Republik Indonesia sebagai Pengelola Zakat,
Jakarta: Pustaka Firdaus
Mas’ud, Abdurrahman, 2006. Negara
Bangsa VS Negara Syariah, Yogyakarta: GAMA MEDIA
http://asmapk.blogspot.com/2012/02/penerapan-syariat-islam-membutuhkan.html,diakses
tanggal 25 April 2012.
1
Yusuf al-Qardlawi, Fi al-Thariq ila Allah ( Kairo: Maktabag
Wahbab 1995), hlm. 59
2
Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang
Press, 2009) hlm 1-2
3
Ibrahim al-Quraibi tarikh khulafa’ (Jakarta: qisthi prees, 2009)
hlm. 16
4
wikipedia
5
Ibrahim al-Quraibi tarikh khulafa’ (Jakarta: qisthi prees, 2009)
hlm. 18
6
Mukaddimah ibn khaldun, jilid I hlm. 159
7
Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang
Press, 2009) hlm. 1-2
8
Muhammad husein haikal, pemerintahan islam ( Jakarta :
pustaka firdaus, 1993) hal. 24-25
9
Syechul Hadi Purmono, Pemerintahan Republik Indonesia sebagai
Pengelola Zakat(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) hlm. 17-18
10
Abdurrahman Mas’ud Negara Bangsa VS Negara Syariah (Yogyakarta:
GAMA MEDIA, 2006)hlm. 9
11
Abdurrahman Mas’ud Negara Bangsa VS Negara Syariah (Yogyakarta:
GAMA MEDIA, 2006)hlm. 9
12
Hizb Tahrir, Afkar Syiyasiyah (Beirut: Dar al-Umah,1994),
hlm.10.
13
Muhammad Abd.Qadir Abu Nafis, Al-Fiqh al-siyasi….hlm.32.
14
Yusuf al-Qardhawi, Min Fiqh al-Daulah…hlm.14.
15
M. Toriquddin, relasi agama dan negara ( malang: UIN-Malang Pres,
2009) hal. 77
16
Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang
Press, 2009) hlm
17
Afif, Penerapan Syari’at Islam Membutuhkan Negara! dalam
www.blogspot.com, diakses tanggal 25 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar