CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 19 Mei 2012

Mendirikan Kekhalifanah di Indonesia?


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Pada dasarnya Allah SWT menciptakan umat manusia adalah untuk mengemban tiga tugas suci, yaitu: sebagai hamba untuk beribadah kepada Allah, sebagai Khalifah Allah SWT, sebagai inovator dalam kehidupan1. Dari ketiga fungsi tersebut dipahami bahwa tugas manusia di muka bumi ini pada hakikatnya hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dalam masalah ibadah, ada dua macam ibadah yaitu ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdah jenis dan tata caranya telah diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara rinci dan mapan, maka ibadah mahdah dalam Islam tidak mengalami perubahan. Namun, ibadah yang ghoiru mahdah atau muamalah ruang lingkupnya sangatlah luas bahkan, al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak mengaturnya secara rinci dan teknis, karena untuk member peluang pada manusia agar menggunakan akalnya untuk dapat mengembangkan prinsip-prinsip umum tentang muamalah yang diatur dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Termasuk di dalamnya masalah kenegaraan sesuai dengan tingkat penalaran, kebutuhan, dan masalah-masalah yang dihadapi manusia sesuai dengan tempat dan waktu.
Dalam masalah kenegaraan ada hal yang mendasar yang sampai sekarang diperdebatkan para pakar yaitu apakah mendirikan Daulah Islamiyah merupakan keharusan atau tidak. Sementara sebagian pakar mengatakan hal itu merupakan kewajiban agama dan ada juga yang mengatakan hal itu tidak wajib.2

  1. Rumusan Masalah
Dari pemaparan pada latar belakang, maka kita dapat menggambil rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana pengertian khilafah?
  2. bagaimana sejarah khilafah dalam islam?
  3. Bagaimana relasi agama dan Negara?
  4. Bagaimana pendapat ulama kontemporer Indonesia jika kekhilafahan diterapkan di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Khilafah
Pengertian khilafah:kata khilafah disebutkan dalam al-qamus artinya adalah umat yang melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya adalah orang yang duduk setelahhmu.
Al-khilafah adalah penguasa tertinggi. Bentuk plural al-khalif adalah, khula’if, dan khulafa’. Arti kalimat khalafahu khilafatan kana khalifatuhu adalah ia meninggalkan jabatan khalifah kepada orang yang menjadi penggantinya.
Makna etimologis kata dasar ini berikut derivasinya sebagaimana dipahami dari buku-buku bahasa pada dasarnya adalah sama. Yaitu, kata al-khalif, al-khulafa’, dan al-khala’if adalah orang yang menggantikan dan mengikuti jejak langkah pendahulunya.
        Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.3
Khilafah (bahasa Arab: خلافة), adalah kepemimpinan, imamah, biasa juga disebut kekhalifahan. Ia merupakan satu bentuk pemerintahan Islam. Pemimpin atau ketua pemerintahannya dinamakan khalifah.
Menurut al-Quran segala sesuatu di Bumi ini termasuk daya dan kemampuan yang diperolehi seseorang hanyalah kurnia daripada Allah (swt). Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah atau wakil Allah (Yang Maha Memiliki) supaya mereka dapat menggunakan kurnia tersebut sesuai dengan keridhaan-Nya.
Khalifah dianggap sebagai pewaris Nabi Muhammad s.a.w. Mengikut Sunah Waljamaah, khalifah dilantik oleh rakyat atau wakilnya, sedangkah pengikut Syiah menganggap hanya Ahlul Bait yang berhak menjadi khalifah.4
Adapun khilafah secara terminologi adalah jabatan keagamaan yang dipegang oleh imam a’zham (penguasa tertinggi atau kepala negara) dalam mengurus berbagai permasalahan dan menjalankan syari’at allah. Khilafah bias pula diartikan dengan menggantikan (kekuasaan) orang lain untuk mewujudkan kemaslahatan umat, ada kalanya karena yang diganti itu meninggal dunia atau karena ia berpergian, atau karena ketidakmampuannya.5
Menurut ibnu kholdun, khilafah adalah membawa seluruh manusia kepada sesuatu yang dipandang benar oleh syari’at (agama), baik dalam kemaslakhatan akhirat, ataupun kemaslakhatan dunia yang kepentingannya kembali pada kemaslakhatan akhirat, sebab segala bentuk permasalahan dunia harus diperuntukkan bagi kemaslahatan akhirat. Jadi esensi khilafah adalah menjalankan kekuasaan dimuka bumi untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama itu. Hakikat jabatan ini adalah menjaga agama serta mengatur dunia dengan agama itu. System ini dinamakan khilafah dan imamah sedang yang menjalankannya disebut khilafah dan imam6.
Berdasarkan pengertian ini maka khilafah adalah system pemerintahan islam yang menjadikan syari’at islam sebagai undang-undangnya.
Prof.Dr. al-Quraibi menyimpulkan bahwa khilafah adalah jabatan public atau kepemimpinan umum bagi umat dalam urusan dunia dan agama. Sebab, khilafah adalah penerus Rasulullah SAW dalam menegakkan agama yang wajib diikuti semua orang. Dengan demikian, kewajiban umat untuk menaati dan mengikuti Rasulullah SAW beserta yang sudah beliau lakukan dalam menjalankan agama Allah di muka bumi, berlaku pula untuk khalifah pengganti beliau.

Sedangkan menurut para pakar kontemporer devinisi daulah khilafah adalah:
  1. Bluntechli dari Swiss adalah sekelompok orang yang independent, hidup permanen di suatu tempat tertentu, dan ada kelompok yang memimpin dan dipimpin.
  2. Wahid Rafat adalah sekelompok orang yang sangat banyak memempati tempat tertentu dengan permanen pada belahan bumi serta tunduk pada pemimpin yang mengatur keberadaan kelompok tersebut dan mengurus permasalahan-permasalahan demi kebaikan kelompok itu secara umum.7
  1. Sejarah Khilafah dalam Islam
Meski sudah diketahui secara bahasa, namun pada awal kemunculannya khilafah adalah term baru yang baru familiar di tanah arab, juga belum popular di tengah system-sistem global yang ada pada saat itu. Umat islamlah yang pertama kali memperkenalkan istilah ini dan tidak ada komunitas masyarakat selain mereka yang menggunakannya. Walaupun pada saat itu sudah banyak istilah untuk menamakan system pemerintahan seperti al-Malik (raja), sulthan (sultan), al-Imbrathur (kaisar), az-Za’im (pemimpin), dan lain-lain.
Negara islam (darus,-sasalam) secara efektif berdiri setelah Nabi berhijrah dan membentuk pemerintahan di kota Madinah. Bentuk strukturnya adalah Nabi tinggal di samping masjid, salah satu kegiatan rutin beliau adalah memberi pengajian di masjid dengan jama'ah muslim yang ada. Bila ada masalah kenegaraan, Nabi dan para sahabatnya membahasnya ditempat itu juga dengan audience yang sama. Nabi menerima laporan dan memberikan perintah negara di masjid beliau. Menjadi kepala negara sepertinya adalah pekerjaan sambilan Nabi. Nabi tidak memusatkan perhatiannya untuk membangun institusi kenegaraan yang mengurus negara. Tidak ada pos-pos kementrian, tidak ada organisasi militer, tidak ada tentara dan aparat yang digaji negara. Pengurusan negara dilakukan seperti sebuah kepanitiaan. jika ada satu proyek negara, misalnya perang, pengumpulan zakat, dan lain sebagainya Nabi menunjuk seorang sahabat untuk memimpinnya. Sedangkan sahabat yang lain akan membantunya dalam struktur yang lepas. Semuanya dilakukan secara sukarela, tidak ada gaji, tetapi bila ada keuntungan (misalnya rampasan perang) mereka akan mendapat bagiannya. Pusat pemerintahannya adalah Nabi sendiri. Beliau memegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Jika nabi telah memutuskan, maka ummatnya "sami;na wa ato'na"(dengarkan dan laksanakan). Tidak ada lembaga kontrol. jika Nabi salah , allah sendiri yang akan menegur melalui wahyunya atau malaikatnya sehingga Rasulullah langsung mendapat kontrol dari Allah.
Sebelum mengambil keputusan, beliau kadang meminta pendapat para sahabatnya. akan tetapi keputusan terakhir mutlak ditangan nabi. beliau tidak terikat dengan masukan dari sahabat. Bisa jadi keputusan nabi berbeda dengan masukan sahabat, tetapi setelah nabi menetapkan, wajib bagi umat islam untuk taat kepada keputusan nabi. Pemerintahan yang berpusat pada nabi mulai mengalami kekacauan setelah nabi wafat. Karena pada dasarnya ketika Nabi masih hidup Nabi tidak pernah memberikan gaya pemerintahan dan tidak pernah menentukan siapa penggantinya, dengan cara bagaimana penggantinya dipilih dan apa saja wewenang penggantinya.
Sampai wafat beliau, rasulullah saw tidak pernah meltakakan suatu atuaran yang terinci bagi pemerintahan islam. Akan tetapi apa yang beliau bawa dari sisi allah untuk mengatur dasar-dasar prilaku dan pergaulan umat manusia merupakan mukaddimah bagi struktur politik yang mantap.
Pada mulanya pada masa nabi perkembangan struktur politik dalam islam berjalan lamban. Baru ketika tampuk kekhalifahan dipegang abu bakar, tepatnya khalifah berhasil menundukkan aksi kemurtadan, perkembangannya mulai tampak jelas. Namun, bagitu wilayah penaklukkan wilayah islam terus meluas, muncullah factor-faktor luar yang ikut mempengharui perkembangan tersebut. Celakanya, pengaruh luar ini justru seringkali menjauhui kaidah-kaidah islam dan bahkan bertentangan dengannya.
Sejumlah yang berlaku di romawi dan Persia telah mempengharui system pemerintahan islam. Ini dimulai ketika khalifah umar membentuk cabinet, yang kemudian semakin besar pada masa utsman. Ketika pemerintahan muawiyah berdiri dan damskus menjadi pusat pemerintahannya, factor-faktor luar tersebut semakin mempengharui bingkai luar pemerintah islam, sehingga orang arab menjadi dominan sebab orang-orang arab masih memegang jabatan penting pemerintahan. Baru setelah tampuk kepemimimpinan berpindah ke bani abbasiah, pengaruh luar semakin tampak jelas. Karena, yang menguasai urusan-urusan penting Negara bukan lagi orang arab, melainkan telah jatuh ke tangan Persia.
Pada masa pemerintahan bani Abbasyiah usaha penerjemahan filsafat yunani kedalam bahasa arab menonjol dan mendapat perhatian serius. Itu sebabnya teori-teori filsafat turut mewarnai tata pemerintahan islam.
Dalam masa itu, system yang berlaku dipersia dan romawi menjadikan waliyul amri sebagai penguasa mutlak, sehingga gagasan dan konsep dasar yang berkembang dalam pemerintahan amat bertentangan dengan yang pernah ada pada masa awal islam. Meluasnya konsep pemerintahan mutlak (diktakur) yang berpindah dari tangan amiril mukminin kepada para penguasa pemegang jabatan penting Negara berpengaruh dalam mengarahkan kehidupan umat manusia.8
  1. Relasi Agama dan Negara
  1. Definisi Agama
Agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti tradisi, tidak bergerak, peraturan menurut konsep Veda. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ” Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebutdengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut”
Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya : Taat, takut dan setia, paksaan,tekanan, penghambaan, perendahan diri, pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasan, adat, pengalaman hidup, perhitungan amal. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah.Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib,atau doktrin dari din itu.
Sedangkan Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan bahwa agama padaumumnya merupakan suatu sistema credo ’tata keimanan’ atau ’tata keyakinan’ atasadanya suatu yang mutlak diluar mansia. Selain itu ia juga merupakan sistema ritus ’tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap Yang Mutlak, juga sebagai sistemanorma ’tata kaidah’ yang mengatur hubungan antar manusia serta manusia dengan alamlainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.
  1. Definisi Negara
Definisi negara dalam Kamu Bahasa Indonesia disebutkan bahwa negara adalah suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasidibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Adapun pengertian Negra menurut para ahli antara lain:
  1. Georg Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
  2. Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
  3. Roger H. Soltau: Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur ataumengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat
  4. Prof. Mr. Soenarko: Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerahtertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
  5. Aristoteles: Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa,hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangandan kehormatan bersama.
Sedangkan di dalam al-Qur’an ada kata-kata balad disebut sampai Sembilan kali, kata bilad disebut lima kali, dan kata-kata baldah disebut lima kali, bahkan lebih menarik lagi, adanya suatu surat yang bernama “Balad” surat kesembilan puluh yang mengisahkan kota Mekkah, tembat tinggal Rasulullah SAW. Baldah adalah daerah yang merupakan satu bagian tertentu dari balad, kata jamaknya adalah bilad. Kata balad tersebut diterjemahkan dengan negeri, daerah, wilayah, yang menjadi satu unsure berdirinya suatu Negara.9 Sedangkan kata dawlah dan dulah bermakna bergiliran baik dalam harta dan perang. Ada yang mengatakan dulah kusus dalam masalah harta, dawlah dalam hal perang jamaknya duwal dan diwal. Al-Zujaj berkata dulah adalah nama suatu yang bergiliran. Namun dalam bahasa politik kata duwal sering diartikan dengan Negara atau pemerintahan.
Menurut R. Kranen Burg, Negara adalah organisasi kekuasaan yang diciptakan kelompok manusia yang disebut bangsa. Adapun menurut Logeman, Negara adalah organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang disebut bangsa. Negara bias berdiri jika terpenuhi unsur-unsur pokok yaitu, umat, territorial, dan pemerintahan. Umat atau rakyat adalah dasar keberadaan masyarakat atau manusia. Territorial adalah dasar keberadaan materi. Pemerintahan adalah dasar keberadaan maknawi yaitu kumpulan pribadi secara maknawi.
Dari pengertian tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntuk waraga negaranya taat pada peraturan perundang-undangan melalui control politis dari kekuasaan yang sah (Budiarjo, 1987:30)
Dalam pandangan al-Baqillani (1966:56), salah satu ulama sunni yang berpengaruh, Negara adalah rakyat yang kemudian didukung ulama politik sunni lainnya, seprti al-Mawardi (1983:8) yang meletakkan supremasi rakyat sebagai Negara di atas kekuasaan imam. Sedangkan pandangan lainnya, seperti pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (1953:3) lebih mencitrakan Negara pada kerangka syari’ah dalam semua aspek tuntutan kemanusiaan dalam Negara itu.
Adapun beberapa pendapat lain dari pemikir Islam sekarang, di antaranya adalah pemikiran Wahid Ra’fat yang mendefinisikan bahwa Negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu belahan dunia tertentu di dunia ini yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya, dan kemaslahatan umat berdasarkan norma-norma agama. Sedangkan Abdul Hamid Mutawwali mendefinisikan bahwa Negara adalah suatu instiutsi abstrak yang terwujudkan dalam sebuah konstitusi untuk suatu masyarakat dan memiliki kekuasaan umum dalam kerangka teokrasi.
Sementara itu, bangsa muncul dari kesamaan pengalaman sejarah dan tidak melalui penetapan yang bersifat memaksa. Di beberapa wilayah, kemunculan bangsa identik dengan etnik tertentu. Namun, di wilayah lain, seperti Indonesia, ada berbagai entik yang mengklaim dirinya sebagai sebuah bangsa sehingga konsep bangsa selalu memiliki kandungan historis dan politis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa lebih merupakan konsep untuk menggambarkan komunitas tertentu. Berbeda dengan Negara yang memiliki kepastian hukum dan batas-batas yang jelas, maka manka bangsa sebagai sebuah konsep sangat bergantung pada komunitas yang menggunakannya dan juga pada kekuatan-kekuatan social di dalam komunitas tersebut.10
Dalam sejarah Indonesia, Negara bangsa muncul sejalan dengan gerakan nasionalisme di dalam kehidupan masyarakat. Konsep Negara bangsa selalu didengungkan setiap 20 Mei yang dikenal dengan Hari Kebangkitan Nasional yang esensinya selalu berangkat dari nasionalisme. Ungkapan konsep “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan kalimat yang kerap kali diucapkan Soekarno terutama kala mencoba mengobarkan semangat persatuan rakyat dalam melawan Neokolonialisme tahun 60-an menjadi symbol pemersatu bangsa Indinesia sampai saat ini. Konsep persatuan dan nasionalisme tersebut bagi beberapa kalangan merupakan yang seharusnya, hal ini menurut mereka disebabkan oleh:
  1. Kawasan Indonesia mempunyai warna etnik yang sangat pluralistic, dihuni oleh kelompok-kelompok etnik dalam jumlah besar, serta paham keagamaan yang berbeda. Orde penyeragaman sebagai brand image pada masa rezim Orde Baru dengan menggunakan trilogy pembangunan berupa stabilitas, pertumbuhan pemerataan ekonomi berdasarkan Pancasila yang kemudian dijadikan konsekuensi atas kepatuhan rakyat Indonesia merupakan jalan ampuh.
  2. Konsep Negara bangsa merupakan suatu konsep yang lebih demokratis, pluralis, dan egalistis. Pelaksanaan civil society merupakan salah satu momentum kebangkitan bangsa. Dengan kata lain, Negara bangsa merupkan sebuah konsep Negara yang dikonstruk atas dasar kebangsaan.
Semenara itu, Negara syari’ah dalam konteks ini diambil dari pemahaman umum masyarakat Indonesia, yaitu Negara yang melaksanakan seluruh hokum Islam, baik secara tekstual ada dalam al-Qur’an dan hadits maupun hokum Islam sebagai hasil ijtihad ulama atas nas dan hadits. Jelasnya Negara syari’at adalah Negara islam itu sendiri.11
Dari pemaparan sekilas mengenai istilah Negara, pasti kita tidak asing lagi tentang perbedaan di kalangan para pakar tentang hubungannya agama dalam ranah Negara atau politik dan ataukah agama hanya mengurusi akhirat saja, dalam artian hanya memperhatikan hubungan makhluk dengan Tuhannya. Hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas terselesaikan. Namun ada pula yang yang berpendapat bahwa agama adalah Negara dan agama tidak akan bias dipisahkan.
Term agama dan Negara yang dimaksud disini adalah agama dan Negara dalam wujud sekarang yang sudah melembaga. Agama dalam pengertian asalanya adalah suatu sistem nilai atau ajaran atau kesadaran moral spiritual yang diyakini benar oleh penganutnya untuk dijadikan pandangan dan pedoman hidup. Untuk islam, ajaran tersebut bersumber pada wahyu allah swt, yakni alqur’an dan as sunnah. Namun dalam perkembangannya hingga hari ini, agama bukan saja sebagai sistem nilai ajaran dan kesadaran moral spiritual sebagaimana asalanya, akan tetapi telah berubah menjadi lembaga atau badan organisasi.
Para sosiolog teoretisi politik islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan Negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran, yaitu:
  1. Paradigma integralistik (agama dan Negara menjadi satu)
Dalam paradigma integralistik, agama dan Negara menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau Negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala Negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi, karena pendukung paradigm ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada ditangan tuhan.
Abdul Qadim Zallum mengatakan Negara Islam berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah inilah yang menjadi asasnya. Secara syari, akidah Islam dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali ketika Rasulloh membangun sebuah pemerintahan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaanya dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam.
Akidah Islamiah merupakan pemikiran politik, akidah termasuk pemikiran politik bahkan asas pemikiran politik bagi orang Islam. Hal itu merupakan pikiran atau undang-undang agama dan negara. Agama tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat, tidak memisahkan antara maslahah pribadi dan maslahah kelompok. Bahkn merealisasikan pribadi dan kelompok di dunia dan akhirat12.
Islam tidak akan terealisasi seperti yang dikendahi oleh Allah swt kecuali jika ada pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Islam pada segala aspek, politik, ekonomi, peradilan, dan hubungan internasional13. Kita harus tegas menghadapi sekularisme dan para provokatornya dengan menegaskan keuniversalan Islam. Dan menampakkan sisi yang berkembang dari hukum-hukum ajaran Islam yaitu negara dan aturannya, pengarahan hukum-hukuim serta adabnya. Serta mengumumkan bahwa semua itu adalah bagian yang tidak terpecah-pecah dari aturan Islam yang sarat dengan keuniversalan dari zaman ke zaman, tempat, serta manusia14.
Menurut Muhammad imarah, dalam islam hubungan antara agama dan negara yang bersifat ketberbeda dengan yang ada pada Kristen, yaitu tidak bercampur baur dan tidak terpisahkan. Islam tidak memisahkan antara yang bersifat ketuhanan dengan yang berisfat kemanusiaan, antara yang qati dan yang berubah.15
Dengan demikian, dalam perspektif paradigma integralistik pemberlakuan dan penerapan hukum islam sebagai hukum positif Negara adalah hal yang niscaya sebagaimana dinyatakan Imam Khomeni dalam Negara islam wewenang menetapkan hukum berada pada tuhan. Tiada seorangpun berhak menetapkan hukum dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari tuhan.
Oleh Karena itu, dalam paham ini rakyat yang menaati segala ketentuan Negara berarti ia taat kepada agama, sebaliknya, memberontak dan melawan Negara berarti melawan agama dan juga melawan tuhan.
  1. Paradigma simbiotik (hubungan timbale balik)
Agama dan Negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan Negara karena dengan Negara, agama dapat berkembang sebaliknya, Negara juga memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Dalam kerangka hubungan simbiotik ini, ibnu taimiyah dalam assiyasah assyar’iyyah juga mengatakan sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan Negara, agama tidak bisa berdiri tegak.
  1. Paradigma sekularistik (memisahkan agama dan negara)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Paradigma sekularistik yaitu paradigma yang memisahkan agama dengan Negara dalam konteks islam, paradigma ini menolak pendasaran Negara kepada islam, atau paling tidak, menolak determinasi islam pada bentuk tertentu dari Negara.
Abdul ar-raziq mengatakan bahwa islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan Negara. Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tapi islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan Negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Menurut Abid al-Jabiri, untuk mengetahui pemahaman istilah-istilah pemisahan agama dari Negara secara klasik adalah: pertama, dalam sejarah islam tidak terdapat perbedaan atau pemisahan antara agaman dan Negara, dan tidak ada penguasa dalam sejarah Islam yang tidak mengatasnamakan agama. Karena tidak seorang pemimpinpun yang mampu menjalankan hukumnya dengan tanpa mengatasnamakan khidmah (pengapdian) pada agama. Kedua, dalam sejarah Islam, tidak ada instansi khusus yang menangani urusan agama yang terpisah dari Negara. Para fuqaha’ tidak mengorganisir dirinya, tetapi berijtihad dan berfatwa secara individu.16
Dengan demikian, menurut paradigma ini, hukum islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu wilayah tertentu. Disamping itu, hukum islam tidak dapat dijadikan hukum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.

  1. Pendapat Ulama Kontemporer Indonesia Jika Kekhilafahan Diterapkan Di Indonesia
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Asbabu nuzul ayat diatas adalah:
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis demikian pula Imam Muslim dan selain mereka berdua ada juga dari jalur Barra bin Azib. Ia berkata, "Pada suatu hari lewat di hadapan Nabi saw. seorang Yahudi yang dalam keadaan dicorengi dengan arang dan didera. Kemudian Nabi saw. memanggil mereka, dan bersabda kepada mereka, 'Apakah memang demikian kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman pelaku zina?' Mereka menjawab, 'Ya.' Lalu beliau memanggil orang yang paling alim (ulama) di antara mereka dan bersabda kepadanya, 'Aku mohon atas nama Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa a.s. apakah memang demikian kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman bagi pelaku zina?' Orang alim itu menjawab, 'Demi Allah! Sebenarnya tidak demikian, seandainya engkau tidak menganjurkan kepada diriku supaya mengemukakan yang sebenarnya niscaya aku tidak akan menceritakannya kepadamu. Sebenarnya engkau dapat menemukan hukuman rajam bagi pelaku zina di dalam kitab kami. Akan tetapi setelah banyak para pelaku zina dari kalangan orang-orang kami yang terhormat, hukuman itu kami batalkan, apabila ada seseorang yang lemah dari kalangan kami melakukannya, maka kami tegakkan hukuman had itu atasnya. Setelah itu kami sepakat untuk membuat suatu hukum yang dapat ditegakkan terhadap orang yang mulia dan hina. Akhirnya kami sepakat untuk menetapkan hukuman pencorengan dengan arang dan dera bagi pelaku zina.' Setelah itu Nabi saw. bersabda, 'Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah orang pertama yang kembali menghidupkan perintah-Mu setelah mereka (kaum Ahli Kitab) matikan.' Kemudian beliau memerintahkannya agar dihukum rajam. Setelah itu lalu turunlah ayat, 'Hai Rasul! Janganlah engkau dibuat sedih oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya...' (Q.S. Al-Maidah 41) sampai dengan firman-Nya, 'Jika kamu diberi ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka), maka terimalah...' (Q.S. Al-Maidah 41). Mereka mengatakan, 'Datanglah kamu sekalian kepada Muhammad, jika ia memberi fatwa kepadamu dengan hukuman pencorengan dengan arang dan hukuman dera (bagi pelaku zina), maka turutilah kehendaknya olehmu. Dan jika memberi fatwa kepadamu agar kamu menegakkan hukuman rajam, maka hati-hatilah kamu.' Ayat di atas berkaitan dengan ayat-ayat sesudahnya sampai dengan firman-Nya, 'Barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.'" (Q.S. Al-Maidah 45).

Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam. "Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara," kata Hasyim. Lebih lanjut menurutnya, di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.
Secara terpisah, cendekiawan Islam Azyumardi Azra menilai penerapan syariat Islam secara resmi oleh negara dinilai tidak tepat. Azyumardi sepakat bahwa setiap Muslim harus mencintai syariat Islam dan menerapkannya pada kehidupan mereka, apalagi hasil survei menyebutkan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung pelaksanaan syariat.
Tetapi, ia menolak jika syariat diterapkan sebagai hukum positif oleh negara. Menurutnya, nilai-nilai syariat cukup diperkenalkan kepada negara sebagai salah satu sumber hukum dan itu sudah berjalan baik. Sudah banyak muamalah bagian dari syariat yang telah diadopsi oleh negara, seperti perkawinan yang telah diadopsi dalam UU Perkawinan (ANTARA News, 27 Juli 2007).
Pendapat serupa dikatakan juga oleh Luthfi Assyaukani dalam Koran Tempo 24 April 2001. Ia menyatakan, yang harus diperjuangkan sekarang ini bukanlah bagaimana menerapkan hukum Islam secara formalistik, tapi memasukkan norma-norma (baca; moralitas) Islam ke dalam hukum positif Indonesia.
Dalam Islam, perdebatan dalam suatu perkara sebenarnya sah-sah saja selama berlandaskan kepada dalil-dalil yang kuat. Pendapat tanpa dalil dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai apa-apa. Maka kalau sekedar pendapat pribadi yang didasarkan pada logika semata, sementara dalil dan fakta tidak mendukung, otomatis pendapat tersebut tertolak.17

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian khilafah:kata khilafah disebutkan dalam al-qamus artinya adalah umat yang melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya adalah orang yang duduk setelahhmu.
Al-khilafah adalah penguasa tertinggi. Bentuk plural al-khalif adalah, khula’if, dan khulafa’. Arti kalimat khalafahu khilafatan kana khalifatuhu adalah ia meninggalkan jabatan khalifah kepada orang yang menjadi penggantinya.
Sejarah khilafah adalah sebuah system pemerintahan yang pertama kali diterapkan oleh umat islam. Namun, pada waktu itu Rosulullah sendiri tidak memberikan gambaran lengkap mengenai kekhilafahan itu sendiri sehingga ketika beliau wafat para sahabat kebingungan dalam menentukan siapa pengganti beliau. Maka munculah system kekhilafahan. Namun, beriringan dengan luasnya wilayah islam, system khilafah tercampur dengan model romawi dan Persia yang menjadikan penguasa itu memegang kekuasaan yang mutlak (diktatur).
Dari sanalah banyak perbedaan tentang kedudukan Negara dan Agama. Menurut para pakar mengenai hal ini ada tiga point penting yaitu Paradigma integralistik (agama dan Negara menjadi satu), Paradigma simbiotik (hubungan timbale balik), dan Paradigma sekularistik (memisahkan agama dan negara).

DAFTAR PUSTAKA
al-Qardlawi, Yusuf, 1995. Fi al-Thariq ila Allah, Kairo: Maktabah Wahbab
Toriquddin, Moh, 2009. Realisasi Agama dan Negara, Malang: UIN-Malang Press
www.wikipedia.com
al-Quraibi, Ibrahim, 2009. Tarikh khulafa’, Jakarta: Qisthi Prees
Mukaddimah ibn khaldun, jilid I hlm. 159
Husein, Muhammad haikal,1993, Pemerintahan Islam. Jakarta : pustaka firdaus
Hadi, Syechul Purmono, 1992, Pemerintahan Republik Indonesia sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus
Mas’ud, Abdurrahman, 2006. Negara Bangsa VS Negara Syariah, Yogyakarta: GAMA MEDIA
http://asmapk.blogspot.com/2012/02/penerapan-syariat-islam-membutuhkan.html,diakses tanggal 25 April 2012.




1 Yusuf al-Qardlawi, Fi al-Thariq ila Allah ( Kairo: Maktabag Wahbab 1995), hlm. 59

2 Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang Press, 2009) hlm 1-2

3 Ibrahim al-Quraibi tarikh khulafa’ (Jakarta: qisthi prees, 2009) hlm. 16

4 wikipedia

5 Ibrahim al-Quraibi tarikh khulafa’ (Jakarta: qisthi prees, 2009) hlm. 18

6 Mukaddimah ibn khaldun, jilid I hlm. 159

7 Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang Press, 2009) hlm. 1-2

8 Muhammad husein haikal, pemerintahan islam ( Jakarta : pustaka firdaus, 1993) hal. 24-25

9 Syechul Hadi Purmono, Pemerintahan Republik Indonesia sebagai Pengelola Zakat(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) hlm. 17-18

10 Abdurrahman Mas’ud Negara Bangsa VS Negara Syariah (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2006)hlm. 9

11 Abdurrahman Mas’ud Negara Bangsa VS Negara Syariah (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2006)hlm. 9

12 Hizb Tahrir, Afkar Syiyasiyah (Beirut: Dar al-Umah,1994), hlm.10.

13 Muhammad Abd.Qadir Abu Nafis, Al-Fiqh al-siyasi….hlm.32.

14 Yusuf al-Qardhawi, Min Fiqh al-Daulah…hlm.14.

15 M. Toriquddin, relasi agama dan negara ( malang: UIN-Malang Pres, 2009) hal. 77

16 Moh. Toriquddin. Realisasi Agama dan Negara (Malang : UIN-Malang Press, 2009) hlm

17 Afif, Penerapan Syari’at Islam Membutuhkan Negara! dalam www.blogspot.com, diakses tanggal 25 April 2012.

0 komentar:

Posting Komentar