CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 20 Januari 2013

Pemikiran M. Natsir Sebagai Pembaharu Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Indonesia memiliki khazanah tokoh pembaharu dunia pendidikan Islam yang begitu banyak, para tokoh tersebut sangat intens dan menaruh perhatian besar tehadap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan Islam. Mereka banyak melahirkan gerakan-gerakan yang baru, pemikiran-pemikiran yang segar bahkan gagasan-gagasan yang cemerlang yang sesuai dengan tujuan dan arahan serta visi misi pendidikan Islam. Peran tokoh-tokoh tersebut banyak memberikan angin segar, pencerahan ide-ide yang banyak dikembangkan oleh para praktisi pendidikan pada masa kini.
Nama Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana Pendidikan Islam di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional yang kiprahnya dalam memajukan bangsa ini, khususnya umat Islam di waktu lampau telah diakui oleh berbagai kalangan. Bahkan, pengaruh dari usaha beliau masih dirasakan hingga sekarang.  Pak Natsir (sapaan akrab beliau) tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan, pemikir modernis, mujahid dakwah. Tapi, beliau dikenal juga sebagai seorang aktivis pendidik bangsa yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru. Pemikirannya banyak digali dan dijadikan sebagai titik tolak kebangkitan umat Islam dalam berbagai macam bidang.
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil dan dijadikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi dan latar belakang pemikiran beliau?
2.      Bagaimana pemikiran-pemikiran dan kontribusi beliau?
3.      Bagaimana pendekatan dan metode yang beliau terapkan?
4.      Adakah pro dan kontra terhadap pemikiran beliau?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Biografi M. Natsir
1.      Setting Sosial
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Natsir adalah putra dari Khadijah dan Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau.[1] Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, Yohanusun. Di tempat kelahirannya itu ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun pada beberapa alim ulama. Pada umur 18 tahun (1926), ia berkeinginan masuk sekolah rendah belanda (HIS). Keinginan tersebut tidak terlaksana karena ia anak pegawai rendahan. Kemudian ia masuk sekolah partikelir HIS Adabiyah di Padang. Tanah kelahiran Natsir sangat terbuka dengan model pendidikan Belanda, sehingga kesempatan ini banyak dipergunakan oleh penduduk secara antusias, sehingga sekolah pada waktu itu tidak dapat menampung animo masyakat untuk mengenyam pendidikan.
Setelah itu ia dipindahkan ke HIS pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah beberapa bulan sekolah di Padang. Disamping belajar ia juga mengajar dan menjadi guru pembantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas ajakan kakaknya Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun 1923. Antara tahun 1916 hingga tahun 1923 ia belajar di HIS dan madrasah diniyah di Solok dan di Padang. M. Natsir masuk MULO di Padang dan aktif mengikuti kegiatan yang bersifat ekstrakulikuler. Tetapi kegiatan itu tetap menjadi perhatian utamanya. Kemudian ia masuk Nationale Islamietisce Pawinderij sejenis pramuka zaman sekarang. Dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketahui oleh Sanusi Pane.[2]
Muhammad Natsir meneruskan pendidikan formalnya ke Algememe midelbare School (AMS) Aldeling A di Bandung. Pada tahun 1938, M. Natsir mulai aktif di bidang politik di organisasi politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang bandung. Beliau menjabat ketua PII Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap sekertaris sekolah tinggi islam STI di Jakarta.
Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam.
Pada 20 Oktober 1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan tersebut, M. Natsir dikaruniai enam anak yaitu Siti Muchlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1923), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra. Hasnah Faizah (05 Mei 1941), Dra. Asyatul Asyriyah (20 Mei 1942), Ir. Ahmad Fauzi (26 April 1944). Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, dan Esperanto.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 sampai 1945, jepang merasa perlu merangkul Islam maka dibentuklah Majelis Islam A’la di Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi organisasi politik Islam. Pada perkembangan selanjutnya majelis ini berubah menjadi Majlis Syura’ Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada tanggal 07 November 1945 dia menjadi salah satu ketua MASYUMI hingga partai itu dibubarkan. Sesudah Indonesia merdeka, ia dipercaya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tampilnya M. Natsir kepuncak pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 03 April 1950 yang lebih dikenal dengan sebutan “Mosi Integral M. Natsir”.
Keharuman nama M. Natsir juga merebak di luar negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam Internasionalnya. Pada tahun 1956 bersama Syaikh Maulana Abul A’ala al-Maududy (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi (Luck now), M. Natsir memimpin sidang mu’tamar alam Islamy di Damaskus. Ia juga menjabat sebagai wakil presiden kongres Islam sedunia yang berpusat di Pakistan dan mu’tamar alam Islamy di Arab Saudi. Pada tahun yang sama ia menunaikan haji ketanah suci Mekkah. Di dunia Internasional M. Natsir dikenal karena dukungan yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika dan usahanya menghimpun kerja sama antara negara-negara muslim yang baru merdeka.
Sebagai penghormatan terhadap pengabdian M. Natsir kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan internasional berupa bintang penghargaan dari Tunisia dan dari yayasan Raja Faisal Arab Saudi pada tahun 1980. Di dunia akademik, ia menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Lebanon 1967. Di bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas saint teknologi malaysia 1991 dalam bidang pemikir Islam.[3]
M. Natsir wafat pada tanggal 06 Februari 1963, bertepatan pada tanggal 14 Sya’ban 1413 H di rumah sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta dalam usia 85 tahun.
2.      Riwayat Pendidikan dan Karir
NO
TAHUN
KETERANGAN
1
1915-1923
Mulai masa sekolah di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok
2
1923-1927
Melanjutkan ke MULO Padang dan sudah aktif mengikuti Jong Islamiten Bond Padang
3
Juli 1927
Tamat dari MULO melanjutkan pendidikan AMS (A2) di Bandung dan berkenalan dengan Ustadz A. Hasan yang membimbingnya dalam studi tentang Islam pada Persatuan Islam (Persis) sampai tahun 1932.
4
1928-1932
Keetua Jong Ismamieten Bond Bandung
5
1931-1932
Mengikuti kursus guru diploma L.O.
6
1932-1942
Direktur Pendidikan Islam Bandung
7
1942-1945
Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung
8
1945-1946
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
3.      Karya-Karya M. Natsir
Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terawalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1938, ia mengeluarkan artikel Suara Azan dan Lonceng Gereja yang mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam. Ia banyak mengeluarkan artikel yang mengomentari agama Kristen.[23] Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda.[4]
B.            Pemikiran-Pemikiran Beserta Kontribusi M. Natsir
1.      Pan Islamisme
Untuk melihat lebih jauh pemikiran Natsir mengenai Kebangsaan dan Islam haruslah memahami situasi dan suasana kebatinan perjuangan Islam pada masa tersebut. Pada abad 19, kondisi bangsa-bangsa yang mayoritas Islam berada dalam situasi penjajahan. Kemunduran peradaban Islam saat itu membangkitkan kembali semangat para ulama dan intelektual muslim untuk mengembalikan kejayaan Islam. Jamaluddin Al-Afghani adalah tokoh ulama intelektual akhir abad 18 yang mengikhtiarkan Pan-Islamisme, perjuangan bersama seluruh umat muslim menentang penjajahan, sangat mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam diseluruh dunia termasuk Natsir.
Pemahaman terhadap Pan-Islamisme terbagi dalam 2 sentrum pemikiran besar, yakni Sentrum Reformis yaitu bergerak dari kultural menuju struktural, dan Sentrum revolusioner yang bergerak dari struktural menuju kultural. Natsir berada dalam Sentrum Pemikiran Reformis, memulai kegiatan politiknya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Ia melihat bahwa metode pendidikan Barat mampu membentuk intelektual-intelektual yang wahid di bidangnya tapi kehilangan dalam identitas dan nilai-nilai spiritualitas sedangkan pendidikan Islam terjebak dalam kekakuan feodalisme tapi masih memiliki identitas dan spiritualitas. Memandang kondisi tersebut, ia bergerak pertama kali dalam dunia pendidikan sebagai panggilan imannya untuk melaksanakan tugas sebagai anak zaman. Pada tahun 1967 Natsir kembali berkiprah dalam bidang dakwah dan pendidikan.
2.      Agama dan Negara
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[5]
Untuk mencapai predikat “hamba Allah” tersebut, Allah memberikan aturan kepada manusia. “Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.”[6]
Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti salat dan puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan social kemasyarakatan. Oleh karenanya, menurutnya, untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim bahwa sesungguhnya Allahlah pemegang dengan kekuasaan penguasa (Natsir, 1973: 436-437).
Dari pernyataan di atas, nampaknya Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan secara integral, bahkan simbiosa, yaitu berhubungan secara resiprokal dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136).
Pandangan Natsir tentang kemestian pendirian sebuah negara ini memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) yang mengatakan memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan (Taimiyyah, 1988: 138). Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Pandangan Natsir ini didasarkan pada Alquran, al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973: 436-437).
Dalam kasus Turki, kata Natsir, Turki bukanlah pemerintahan Islam, karena di Turki tidak ada lagi integrasi antara agama dengan negara. Karenanya, negara hanya merupakan instrumen, bukan tujuan, maka tidak perlu ada perintah Tuhan untuk mendirikan Negara. Yang perlu adalah pedoman untuk mengatur negara supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan menjadi media yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang terhimpun dalam negara itu; baik untuk keselamatan maupun kesentosaan individu dan masyarakat (Natsir, 1973: 443).
3.      Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.[9] Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan.
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti is telah berada dalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan diakhirat. Menurut Natsir dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi. Perkataan menyembah-Ku sebagaimana terdapat dalam potongan surat az Dzariyat tersebut diatas menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari. ”Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan diakhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan di dunia dan di akhirat itu.
Selain itu, Muhammad Natsir sangat konsen terhadap Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami Natsir, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya fadlu ‘ain. Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak mereka
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam tersebut menurut pandangan Mohammad Natsir semestinya kurikulum pendidikan dapat disusun dan dikembangkan secara integral dengan mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap kemandirian bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Beliau sangat tegas menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim sekularisme.  Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya. Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini sebaik-baiknya kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini.
Muhammad Natsir juga mengenalkan konsep tauhid sebagai dasar Pendidikan. Tauhid harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya, diantaranya pendidikan. Muhammad Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang diasaskan pada tauhid. Beliau berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk bergantung. Hasil dari pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki hubungan kuat dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk. Dan inilah dua syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin.
Muhammad Natsir telah menempatkan dirinya untuk berada di jalan da’wah. Sehingga apapun yang dijalankan selalu disebatikan dengan misi da’wah. Kecerdasan yang ada pada pada diri beliau dan kuatnya keyakinan terhadap ajaran islam menjadikannya seorang penda’wah yang ulung. Dan kelebihan yang dimilikinya adalah mampu berda’wah dalam berbagai aspek, seperti politik, pendidikan, keilmuan, keperibadian dan tingkah laku. Selain itu objek da’wah yang disentuh tidak hanya untuk kalangan atau golongan tertentu, namun yang menjadi target da’wah adalah mencakup seluruh masyarakat. Baik golongan atas maupun golongan bawah, bahkan kiprahnya dalam da’wah mulai dari daerah, nasional hingga internasional. Dalam berda’wah di arena politik Pak Natsir terkenal dengan dua kalimat “berda’wah dijalur politik berpolitik dijalur da’wah”. Bagi Pak Natsir berpolitik adalah suatu medan da’wah, sehingga dalam prakteknya harus dilakukan dengan penuh kejujuran, keikhlasan dan sopan santun. Dalam berpolitik sangat tidak pantas kalau hanya menurutkan hawa nafsu dan menepikan hukum Allah. Berpolitik bukan untuk mencari kekuasaan tetapi yang sangat utama adalah mengutamakan kemaslahatan umat. Begitu juga dalam dunia pendidikan, menurutnya pendidikan merupakan sarana untuk berda’wah. Dengan menggunakan kurikulum pendidikan yang integral maka proses transformasi ilmu pada peserta didik dapat ditempuh melalui tiga tingkatan yaitu: metode hikmah, mauidzah dan mujadalah. Ketiga metode tersebut bersifat landasan normatif dan diterapkan dalam tataran praktis yang dapat dikembangkan dalam berbagai model sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi peserta didik. Dalam pandangan Natsir, dari beberapa metode yang diungkapkan di atas, terlihat metode hikmah lebih berorientasi pada kecerdasan dan keunggulan. Metode ini memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi kemampuan memilih saat yang tepat untuk melangkah, mencari kontak dalam alam pemikiran guna dijadikan titik bertolak, kemampuan memilih kata dan cara yang tepat, sesuai dengan pokok persoalan, sepadan dengan suasana serta keadaan orang yang dihadapi. Natsir menambahkan bahwa implikasi metode hikmah ini akan menjelma dalam sikap dan tindakan.

4.      Politik
Menurut Chabib Chirzin, M. Natsir adalah seorang seorang demokrat sejati.6 Ia memulai karir politiknya dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938. Berkat perjuangan pada tahun 1940-1942, ia diangkat sebagai ketua partai. Ia jugadiangkat sebagai abdi negara oleh pemerintah sebagai kepala pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945, sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Sekolah tinggi Islam (STI) di Jakarta. Puncak karier politiknya adalah menjadi anggota Komite Nasional IndonesiaPusat (KNIP), ketua Partai Masyumi, Menteri Penerangan dan juga pernah menjadi Perdana Menteri RI pada masa pemerintahan Soekarno. Dalam karir politik, M. Natsir pernah membuat langkah-langkah strategis khususnya dalam mengangkat mosi pada sidang Perlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950. Ini dikenal dengan mosi integral Natsir. Mosi ini adalah menyatukan Republik Indonesia yang telah terpecah menjadi 17 negara bagian. Hal ini sebagai akibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB), kemudian kembali kepada pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adanya mosi inilah, ia dapat tampil pada puncak pemerintahan. Pada tahun 1958, Natsir pernah membentuk pemerintahan tandingan yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan tandingan ini dimunculkan sebagai reaksi atas kebijakan Soekarno yang telah menyeleweng dari UUD 1945.7Akhirnya, pada tahun 1960 ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan pada tahun yang sama PRRI yang didominasi oleh anggota Masyumi dibubarkan. Pada tahun 1966, Natsir dibebaskan dari penjara setelah pemerintahan dipegang oleh Orde Baru. Sejak itulah perjuangan politik M. Natsir berakhir.
5.      Gerakan Dakwah
Telah diuraikan di atas bahwa perjuangan politik M. Natsir berakhir pada tahun 1960 setelah ia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Baru setelah runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru, pada tahun 1966 M. Natsir dibebaskan oleh Soeharto. Mulai saat itulah, M. Natsir mengubah gerakannya dari gerakan politik kepada gerakan dakwah.
a)   Gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dakwah adalah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia mengikuti Islam.16Dakwah juga dapat diartikan sebagai aktivitas mengajak dan menggerakan manusia agar menaati ajaran Islam dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.17 Dari pengertian di atas, secara substansial, dakwah dapat diartikan sebagai sebuah proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar dan keteladanan yang baik dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dakwah ini merupakan kegiatan tertua, sekaligus menjadi sebab terbentuknya komunitas dan masyarakat serta peradaban manusia yang mengantarkan kepada cita-cita ideal dakwah yaitu terwujudnya khairu ummah. Sebab itulah menurut M. Natsir dakwah harus berpijak pada rasa cinta dan persaudaraan. Lebih lanjut M. Natsir menegaskan bahwa dakwah memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu:
a.       Memanggil manusia kepada syariat untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup, baik perseorangan, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara;
b.       Memanggil manusia pada fungsi hidup manusia sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai syuhada alannas, menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia; dan
c.       Memanggil manusia kepada tujuan hidup manusia yang hakiki yaitu menyembah Allah.
Dengan demikian, dakwah mengandung konsekuensi-konsekuensi dalam penerapannya, yaitu:
·         Dakwah hendaklah bersih dari rasa benci dan permusuhan;
·          Tutur kata para pelaku dakwah harusbersendikan pada akhlaqul karimah;
·         Menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan, apalagi terkesan membuka aib sesama manusia; dan
·          Menciptakan kondisi yang bersahabat dan akrab dengan para objek dakwah agar mereka memiliki rasa melu handarbeni, ikut merasa beertanggung jawab untuk meneruskan pesan-pesan tersebut kepada teman-temannya yang lain sebagai kelanjutan dari informasi dakwah yang diterimanya.20
Oleh karena itu, kemudian Natsir membuat lembaga dakwah yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai mantan politisi dan mantan pejabat negara, M. Natsir telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ulama-ulama di Jakarta. Pada tanggal 26 Pebruari 1967, beserta ulama-ulama, tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh agama khususnya mantan aktivis Masyumi, ia membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Dari pembicaraan tersebut, disepakati bahwa untuk memperjuangkan Islam diperlukan lembaga yang mewadahinya. Pada tanggal 6 Mei 1967, dibentuklah lembaga dakwah yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk mendorong, memperbaiki dan mengembangkan dakwah Islamiyah di Indonesia dengan dasar taqwa dan keridlaan Allah Swt.
Sebagaimana organisasi yang lain, DDII memiliki cabang di berbagai daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia. DDII sendiri memiliki kantor pusat di Jl. Kramat Raya No. 5 Jakarta dan memiliki masjid yang diberi nama al-Furqan.
Melalui DDII inilah, M. Natsir mengembangkan dakwah Islamiyah dengan tiga pilar penting, yaitu masjid, pondok pesantren dan kampus. Masjid adalah lembaga risalah, tempat mencetak umat yang beriman, beribadah, tempat menghubungkan jiwa manusia dengan khaliknya, tempat mencetak umat yang beramal saleh dalam kehidupan masyarakat dan tempat mencetak umat yang ber-akhlaqul karimah. Dari masjid inilah diharapkan akan lahir jamaah yang kuat dan solid, bukan hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah. Kedua adalah pondok pesantren, dari pondok pesantren ini diharapkan akan lahir ulama, kiai, dan ustadz yang memiliki komitmen dan semangat yang kuat mendakwahkan Islam ke seluruh tanah air. Ketiga adalah kampus, dari kampus inilah diharapkan akan lahir cendekiawan dan pemimpin diberbagai lapangan kehidupan.
Perpaduan ketiga pilar dakwah ini seharusnya bukan hanya perpaduan fisik, tetapi juga persepsi, pemikiran dan amaliyah. Dengan kata lain, kaum cendekiawan dan civitas akademika di kampus harus memahami pesantren dan masjid. Kaum santri juga harus memahami kampus dan masjid. Betapa besar kekuatan yang dapat dibangun jika kekuatan pesantren dan perguruan tinggi bertemu dalam masjid. Jika kekuatan ini bersatu, niscaya akan menjadi modal besar bagi pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai ketua DDII, Natsir juga mengembangkan dakwah dengan menyediakan tenaga khatib dan mugaligh di sejumlah masjid di Jakarta. Para khatib dan mubaligh ini sebelum diterjunkan diberikan arahan agar ketika menyampaikan ajaran Islam hanya berpegang kepada al-Qur’an dan al-Hadits saja tanpa terikat dan taklid terhadap mazhab tertentu. Ini dilakukan untuk mengantisipasi ajaran-ajaran yang menyimpang agar umat yang menjadi sasaran dakwah tidak tersesat. Selain menyediakan khatib dan mubaligh, DDII juga mengelola penerbitan, percetakan, toko buku Media Dakwah dan lembaga pendidikan serta menerbitkan majalah seperti: Buletin Dakwah, Majalah Serial Khutbah Jum’at, Suara Masjid, Serial Media Dakwah dan majalah anak-anak Sahabat. Buku-buku Islam juga diterbitkan seperti buku-buku karangan Natsir atau buku-buku karangan anggota DDII yang lainnya baik yang dikarang sendiri maupun terjemahan.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), DDII kemudian merekomendasikan kepada siwa-siswi atau santrinya untuk melanjutkan pendidikan, khususnya ke Timur Tengah. Sebagian dari mereka diberikan beasiswa dari DDII dan sebagian lagi mendapatkan beasiswa dari negara-negara di Timur Tengah melalui DDII.

C.           Metode dan Pendekatan Pemikiran M. Natsir
Metode Dakwah (amr ma’ruf nahi mungkar) Melalui DDII inilah, M. Natsir mengembangkan dakwah Islamiyah dengan tiga pilar penting, yaitu masjid, pondok pesantren dan kampus. Masjid adalah lembaga risalah, tempat mencetak umat yang beriman, beribadah, tempat menghubungkan jiwa manusia dengan khaliknya, tempat mencetak umat yang beramal saleh dalam kehidupan masyarakat dan tempat mencetak umat yang ber-akhlaqul karimah. Dari masjid inilah diharapkan akan lahir jamaah yang kuat dan solid, bukan hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah. Kedua adalah pondok pesantren, dari pondok pesantren ini diharapkan akan lahir ulama, kiai, dan ustadz yang memiliki komitmen dan semangat yang kuat mendakwahkan Islam ke seluruh tanah air. Ketiga adalah kampus, dari kampus inilah diharapkan akan lahir cendekiawan dan pemimpin diberbagai lapangan kehidupan.
Sedangkan pendekatan yang paling terlihat dari beliau adalah pendekatan teologis dan historis walaupun dalam perjalanan pendidikan beliau juga dipengaruhi oleh model pembelajaran Belanda pada saat itu. Namun dari sisi lain beliau juga belajar di madrasah tempat belajar agama Islam.
D.           Kritikan Terhadap Pemikiran M. Natsir
Begitu pun dengan pendiri awal bangsa ini, adalah Soekarno dan Muhammad Natsir. Soekarno dengan ideologi nasionalisme-nya atau lebih tepat disebut sebagai ideologi Sekularisme dengan Muhammad Natsir yang kokoh dengan keimananya ingin mengemban Ideologi Islam dalam wujud negara. Muhammad Natsir banyak menulis terkait masalah ini pada majalah Panji Islam dan Al Mannar. Perdebatan muncul ketika Soekarno menulis artikel berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara”, Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki yakni pemisahan agama dari negara sebagai langkah ”paling modern” dan ”paling radikal”. Kata Bung Karno: ”Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia“. Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara- negara Barat. Di negara-negara Barat, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara. Jadi kesimpulan Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama bukan untuk mematikan agama itu,urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama.
Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler. Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M, bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang kelak akan didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro sekuler.[7]
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
M. Natsir adalah sosok negarawan, pemikir modernis, dan sekaligus mujahid dakwah. Gagasannya yang terkenal adalah mengenai Islam dan negara (demokrasi), Islam dan pancasila, serta tentang dakwah. Gagasan M. Natsir mengenai Islam, negara, dan politik ini dapat dikategorikan sebagai pandangan yang moderat. Dalam arti, ia tidak mengharuskan segala sesuatu kepada tradisi sejarah Islam yang pernah ada. Berkaitan dengan kepala negara, ia amat luwes, tidak mengharuskan khalifah, presiden atau amirul mu’minin. Baginya, yang terpenting adalah berjalannya ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Sepanjang hidupnya selama 84 tahun, M. Natsir menjadikan dakwah sebagai perjuangan dan tidak pernah surut dari medan dakwah, bahkan sampai ajal menjemputnya. Karena itulah, ia dapat dikatakan sebagai maestro dan arsitek dakwah yang sulit dicari generasi penerusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Luth, Tohir, Muhamad Natsir Dakwah dan pemikirannya, Jakarta : Gema Insani Press, 1999
Lofita Anas, Nasmay, Mohammat Natsir Pemandu Ummat,Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir, Kementrian Agama RI, 2011
Lihat Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).
 Wikipedia



[1]Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 21
[2] Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 22-23
[3] Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 26-27.
[4] wikipedia
[5] (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
[6] (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436). 
[7] (Lihat Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).

0 komentar:

Posting Komentar