CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 05 Oktober 2013

Perkembangan Tafsir Era Pertengahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafrsiran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa keemasan selalu mengalami perkembangan dan perubahan serta memiliki karakteristik dan corak yang unik sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal demikian tidak lepas dari faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
B.            Rumusan masalah
Dalam makalah ini dirumuskan beberapa permsalahan yang terkait dengan permasakahan diatas yaitu:
1.      Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?
2.      apa saja corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat itu?
3.      Siapa saja tokoh tafsir pada abad pertengahan dan apa sajakah kitab-kitab yang berkembang pada masa tersebut?
C.            Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini adalah ingin memberikan penjelasan tentang perkembangan tafsir pada era pertengahan yang mana tentunya memiliki ciri khas tersendiri dari era tafsir lainnya, sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan pembaca khususnya tentang perkembangan tafsir mulai dari era klasik, era pertengahan, hingga era kontemporer.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan
Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.[1]
Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah peradaban Islam dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa) seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan dengan cabang ilmu keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan peradaban manusia khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun dibukakannya forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.[2]
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.[3]
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.[4]
B.            Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan pemahaman Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi penafsiran adalah berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai berikut :
a.       Pemaksaan Gagasan Eksternal al-Qur’an[5]
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa pada zaman ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan pada kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan dalam QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
 “Yusuf berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS. Yusuf :26).[6]
Ayat diatas menceritakan pengalam pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan teori wahdah al-wujud. Dia membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan karena kesatuan wujudnya ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).[7]
b.      Bersifat ideologis[8]
Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara berpikir yang berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakr, justru dalam surat al-Fatihah  ayat 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).[9]
c.       Bersifat repetitif[10]
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
d.      Bersifat parsial[11]
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh  :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat, pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron :28).[12]
C.            Corak tafsir era pertengahan
Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di sini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan menggambarkan minat dan horison pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)[13].
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab[14], mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:
a.             Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya dalam bidang fikh sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang berada dibawah pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.
Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan disksi fikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra daripada pelakunya.
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fikhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum mendapat pemecahan. Tentunya untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at, menyebabkan mereka tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Kemudian hal-hal seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum dan fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang-orang yang menaruh minat atas studi hukum.
b.            Corak linguistik
Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam tafsir linguistik ialah:
·         Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.
·         Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
·         Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan memanfaatkan teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
·         Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·         Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·         Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan teori-teori linguistik.
c.       Corak Tafsir Teologis
Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam. Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.[15]
d.      Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih mementingkan teori-teori mistiknya.[16]
e.       Corak Tafsir Falsafi
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan kedalam bahasa Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian muncullah reaksi dan respon tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al farabi, al kindi, dan ikhwan al-shafa.[17]
f.       Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.
Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang lebih moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[18]
D.           Tokoh-tokoh tafsir era pertengahan
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan mufasir yang mendukung disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter khusus. Seperti Al farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah pendukung mu’tazilah. Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara teologis posisinya mirip Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasionalis mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir  didaerah yang berbasis mu’tazilah. Selain itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang mencoba merespons capaian al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologi syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.
E.            Kitab-kitab era pertengahan
Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an ta’wil ay al-qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an haqa’iq al-qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M) dengan corak ideologi mu’tazilah, mafatih al-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi (1209 M) denga corak teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.

BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Adapun kemudian dari hal diatas kemudian muncullah berbagai corak penafsiran yang berkembang pada era pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Digital
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah
Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:TERAS, 2010
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992





[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,….h.211-213.
[2] Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 68
[3] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[4] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[5] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 100
[6] Al-Qur’an digital (Q.S. Yusuf: 26)
[7] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Nisa’: 80)
[8] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 101
[9] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
[10] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 106
[11] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 109
[12] Al-Qur’an digital (Q.S. Ali Imran: 28)
[13] M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm.  12
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
[15] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 71
[16] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 72
[17] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 73
[18] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 74

Metode Dan Corak-Corak Tafsir

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain terletak pada susunan bahasa dalam Al-Qur’an yang unik dan menarik, dan pada saat yang bersamaan mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya. Walaupun dipahami pula tentunya tingkat pemahaman mereka berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi itu sendiri. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam memahami Al-Qur’an, sahabat Nabi sekalipun, yaitu yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu. Oleh karena itu perbedaan tersebut memunculkan permasalahan yang sering dibahas yaitu masalah corak dan metode penafsiran.
B.            Urgensi
Urgensi dari tulisan ini diharapkan dari tulisan ini memberikan tambahan informasi bagi pembaca terutama masalah dalam tafsir dan lebih khusus pada corak dan metode tafsir.
C.           Rumusan Masalah
Dari pemaparan pada latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sajakah metode-metode dan corak-corak penafsiran dalam ilmu tafsir (mencakup pengertian)?
2.      Bagaimana perkembangan dari corak dan metode dalam tafsir?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Metode-Metode Tafsir
1.             Metode Ijmali (Global)[1]
Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar.Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an  secara  ringkas  tapi mencakup  dengan  bahasa  yang lebih umum dikenal lebih luas, mudah  dimengerti,  dan  enak  dibaca. Sistimatika  penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir  Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri umum metode ijmali adalah yang pertama, cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, kedua, mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, ketiga, mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Disinilah, metode  ijmali  dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an  juga memiliki kelebihan dan kelemahan di antaranya, sebagai berikut:
1.      Kelebihan
·         Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat. 
·         Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
·         Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
2.      Kelemahan
·         Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
·         Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.
3.      Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.

2.             Metode Tahlili (Analisis)[2]
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.[3]
Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya  sesuai dengan  keahlian dan  kecenderungan mufassir  yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di  dalam  al-Qur’an. Tafsir  yang memakai  pendekatan  ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang  diyakini  efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang  sedang  ditafsirkan,  sambil memperhatikan  konteks naskah tersebut.
Metode  tafsir ini berusaha  untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau  surah dalam mushaf, dengan menonjolkan  kandungan  lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.

Ciri-ciri metode  tahlili.
Penafsiran  yang mengikuti metode  ini  dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran)
1.      Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
·         kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],
·         Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
·         Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir]  karangan  Ibn Katsir  [w.774H], 
·         al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
2.      Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
·         Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H)
·         Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan  al-Baydhawi [w.691H]
·         al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
·         ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], dan lain-lain.
Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitab-kitab  tafsir di atas  terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara  komprehensif  dan menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur maupun al-ra’y
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu  tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri  al-ra’y  yang menggunakan metode  analitis  ini,  para mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas  yang diizinkan oleh  syara dan  kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[4].
Para ulama  telah menetapkan syarat-syarat  diterimanya  tafsir  ra’y  yaitu,  bahwa  penafsirnya, pertama, benar-benar menguasai  bahasa Arab  dengan  segala  seluk  beluknya, kedua, mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain, ketiga, tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, keempat, tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, kelima, tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, keenam, tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya:
1.      Kelebihan:
·         Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
2.      Kelemahan
·         Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
·         Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
3.             Metode Muqarin (Komparatif)[5]
Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah pertama, membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan ketiga,  membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ciri utama metode  ini adalah ”perbandingan”  [komparatif]. Di sinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a.   Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b.   Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c.   Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :
1.             Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :
                                   i.            Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)

ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
                                  ii.            Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
                              iii.              Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
                              iv.              Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
                                v.              Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
2.                  Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
3.                  Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin.
1.      Kelebihan:
·      Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
·      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
·      Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
2.      Kelemahan:
·      Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
·      Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah,
4.             Metode Maudu’i (Tematik)[6]
Metode  tematik  ialah metode  yang membahas  ayat-ayat  al-Qur’an sesuai dengan  tema atau  judul yang  telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan  dihimpun,  kemudian  dikaji  secara mendalam  dan  tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat.  al-Qur’an  dikaji dengan mengambil  sebuah  tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an  dan sebagainya.[7]
M. Quraish Shihab[8], mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema  ragam  dalam  surat  tersebut  antara  satu  dengan  lainnya  dan  juga dengan  tema  tersebut,  sehingga  satu  surat  tersebut  dengan  berbagai masalahnya merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin  diurut  sesuai  dengan  urutan  turunnya,  kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh  tentang masalah yang dibahas  itu.
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan  kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya  kandungan  pesan  tersebut  diisyaratkan  oleh  nama  surat  yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[9].
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang  termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu  dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy”. Dalam  buku  itu diungkapkan  secara  rinci  tentang  langkah-langkah  dalam menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
a.       Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas
b.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.       Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab al-Nuzul)
d.      Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya masing-masing
e.       Menusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.       Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan
g.      Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ’am dan yang khas, mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.
1.      Kelebihan
·         Menghindari problem atau kelemahan metode lain
·         Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
·         Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
·         Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.
2        Kekurangan
·         Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
·         Memasung dan membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.
B.            Corak-Corak Tafsir
Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)[10].
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab[11], mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir, maka dapat dilihat bahwa dari keseluruhan metode dan corak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari hal itu tidak dibenarkan jika seseorang mufasir mengklaim bahwa tafsirannya lah yang paling benar dan mutlak. Sebab pencarian makna yang hakiki akan maksud sebuat teks yang tercantup pada Al-Qur’an merupakan pencarian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah diyakini akan muncul metode-metode baru sebagai alternatif penggabungan metodologi tafsir.

DAFTAR PUSTAKA

Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i)”. Makalah Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004
Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973)
Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.)
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010)
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992)





[1] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i). Makalah Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm. 8-10
[2] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i). Makalah Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm.10-14
[3] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm
[4] Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973).  342
[5] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i). Makalah Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm. 14-18.
[6] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i). Makalah Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm.18-23
[7] Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
[8] Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh dalam bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah
[9] Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 23
[10] M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm.  12
[11] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.