BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan
bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan
dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut
antara lain terletak pada susunan bahasa dalam Al-Qur’an yang unik dan menarik,
dan pada saat yang bersamaan mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa
pun yang memahami bahasanya. Walaupun dipahami pula tentunya tingkat pemahaman
mereka berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat
Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat
dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi itu sendiri. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam memahami
Al-Qur’an, sahabat Nabi sekalipun, yaitu yang secara umum menyaksikan turunnya
wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan
arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam
pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau
mereka baca itu. Oleh karena itu perbedaan tersebut memunculkan permasalahan
yang sering dibahas yaitu masalah corak dan metode penafsiran.
B.
Urgensi
Urgensi dari tulisan
ini diharapkan dari tulisan ini memberikan tambahan informasi bagi pembaca
terutama masalah dalam tafsir dan lebih khusus pada corak dan metode tafsir.
C.
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan pada
latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
sajakah metode-metode dan corak-corak penafsiran dalam ilmu tafsir (mencakup
pengertian)?
2. Bagaimana
perkembangan dari corak dan metode dalam tafsir?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Metode-Metode
Tafsir
1.
Metode
Ijmali (Global)[1]
Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan
al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar.Metode
Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an
secara ringkas tapi mencakup
dengan bahasa yang lebih umum dikenal lebih luas,
mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di
dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis
tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat
demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya
dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan
secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna
ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang
diulas secara panjang lebar.
Ciri umum metode ijmali adalah yang
pertama, cara seorang mufassir melakukan penafsiran,
di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai
akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, kedua, mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat
dan idenya, ketiga, mufassir tidak banyak memberikan penafsiran
secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu
memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Disinilah, metode ijmali
dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
juga memiliki kelebihan dan kelemahan di antaranya, sebagai berikut:
1. Kelebihan
·
Praktis dan mudah dipahami
oleh ummat dari berbagai
strata sosial dan
lapisan masyakat.
·
Bebas dari penafsiran
kemungkinan israiliah maka tafsir
ijmali relatif murni dan
terbebas dari pemikiran-pemikiran Israiliat
dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
·
Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global
menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
2.
Kelemahan
·
Menjadikan petunjuk al-Qur’an
bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga
satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti,
hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang
lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
·
Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir
yang memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian yang luas,
jika menginginkan adanya analisis
yang rinci, metode global tak
dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang
menggunakan metode ini.
3.
Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode
ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din
al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy,
Shafwah al-Bayan li Ma’any
al-Qur’an karangan Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut,
al-Tafsir al-Muyassar karangan
Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.
2.
Metode
Tahlili (Analisis)[2]
Secara etimologis, tahliliy berasal dari
bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau
“menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah
suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan
berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.[3]
Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat,
sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun
di dalam al-Qur’an. Tafsir yang memakai
pendekatan ini mengikuti naskah
al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat
penafsiran yang diyakini
efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau
ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan
ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan
makna bagian yang
sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode
tafsir ini berusaha untuk
menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan
urutan-urutan ayat atau surah dalam
mushaf, dengan menonjolkan
kandungan lafadz-lafadznya,
hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis
yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan
mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Ciri-ciri metode tahlili.
Penafsiran
yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur
(riwayat) atau ra’y (pemikiran)
1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil
bentuk al-ma’tsur adalah
·
kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir
al-Thabari [w.310H],
·
Ma’alim al-Tazil karangan
al-Baghawi [w.516H],
·
Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir
Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir
[w.774H],
·
al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir
bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y
banyak sekali, antara lain:
·
Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl
karya Imam al-Khāzin (w.741
H)
·
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H]
·
al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
·
’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an
karangan al-Syirazi [w.606H], dan lain-lain.
Jadi,
pola penafsiran yang
diterapkan oleh para
pengarang kitab-kitab tafsir di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif
dan menyeluruh, baik yang
berbentuk al-ma’tsur maupun
al-ra’y
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang
ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama,
marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di
mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat,
atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara
penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada
tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga
ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri
sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan
pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan
utamanya. ”tafsiri al-ra’y yang menggunakan metode analitis
ini, para mufassir
memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak
lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan
kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat
tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak
penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi,
adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih
pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir
semisal Manna’ al-Qhathathan[4].
Para ulama
telah menetapkan syarat-syarat
diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa
penafsirnya, pertama, benar-benar menguasai bahasa Arab
dengan
segala seluk beluknya, kedua, mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh,
ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain, ketiga,
tidak menginterpretasikan hal-hal yang
merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, keempat, tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa
nafsu dan intres pribadi, kelima, tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran
atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut,
keenam, tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling
benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki
kelemahan dan kelebihan, diantarnya:
1. Kelebihan:
·
Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang
lingkup yang termasuk luas. Metode
ini dapat digunakan oleh
mufassir dalam dua
bentuknya; ma’tsur dan ra’y
dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir.
2. Kelemahan
·
Menjadikan petunjuk al-Qur’an
parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh
dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat
lain yang sama
dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan
ayat-ayat lain yang mirip atau sama
dengannya.
·
Masuknya pemikiran
Israiliat sebab berbagai pemikiran
mufassir dapat masuk ke
dalamnya, tidak tercuali
pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam
penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub
di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
3.
Metode
Muqarin (Komparatif)[5]
Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok
ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan
antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi
maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi
yang dimaksud dengan metode komporatif ialah pertama,
membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang
sama, kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang
pada lahirnya terlihat bertentangan, dan ketiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir
dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak salah satu
perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal
ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan
ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat
dirangkum sebagai berikut :
a. Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu
kasus yang sama;
b. Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;
c. Membandingkan
berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
1.
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan
ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih
masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda
dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan
macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai
berikut :
i.
Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang
harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
ii.
Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi
mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi
peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka
tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
iii.
Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat
Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta
mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka,
mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan
al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
iv.
Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun),
seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat
: 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
v.
Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh
api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
2.
Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk
menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an
surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa
yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke
dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di
atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu,
al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah
hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya,
tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak
disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat
surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga
ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu
:
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila
memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan
perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada
ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada
ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
3.
Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu
(al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir
ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak
ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4)
tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir
yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan,
dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan
mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi
masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode
Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini
dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin.
1. Kelebihan:
· Memberikan wawasan penafsiran yang relatif
lebih luas kepada
pada pembaca bila
dibandingkan dengan metode-metode
lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan
keahlian mufassirnya,
· Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi
terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita
dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang
berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
· Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi
mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
2. Kelemahan:
· Penafsiran dengan memakai metode ini tidak
dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan
yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
· Metode
ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di
tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan
dari pada pemecahan masalah,
4.
Metode
Maudu’i (Tematik)[6]
Metode
tematik ialah metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang
telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak
dilakukan ayat demi ayat. al-Qur’an dikaji dengan mengambil sebuah
tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis
yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid
di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an
terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an
dan sebagainya.[7]
M. Quraish Shihab[8], mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai
dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam
dalam surat tersebut
antara satu dengan
lainnya dan juga dengan
tema tersebut, sehingga
satu surat tersebut
dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula
dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari
berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut
sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an
secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua
bentuk penyajian pertama menyajikan
kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang
terangkum pada satu surat saja. Biasanya
kandungan pesan tersebut
diisyaratkan oleh nama
surat yang dirangkum padanya
selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i
mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[9].
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul
atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini
juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik
yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau
dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas
dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk
yang termuat di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat
dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam
pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir
yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut
tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau
bagian-bagian tertentu dalam satu
surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan
utama dan petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan tema
sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru
besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudu’iy”. Dalam
buku itu diungkapkan secara
rinci tentang langkah-langkah dalam menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
a. Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas
b.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya
(Asbab al-Nuzul)
d. Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya
masing-masing
e. Menusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits
yang relevan dengan pokok bahasan
g. Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan
dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ’am dan yang
khas, mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga
semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.
1.
Kelebihan
·
Menghindari problem atau kelemahan metode lain
·
Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam
menafsirkan al-Qur’an
·
Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
·
Metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya
ayat-ayat yang bertentangan
dalam al-Quran, sekaligus
membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
2
Kekurangan
·
Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal
ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih
mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat
dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat.
Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat
tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak
mengganggu pada waktu melakukan analisis.
·
Memasung dan membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul
penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang
dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh
judul itu.
B.
Corak-Corak
Tafsir
Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami
dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang
cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat
dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara
para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang
menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya;
metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat),
kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga,
pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)[10].
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan
dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati
diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh,
munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas,
netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal,
yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal
ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran,
dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab[11], mengatakan bahwa corak penafsiran yang
dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan
teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak
tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak
tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra
budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy,
dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir
adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan
ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari
perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang
diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan
masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.
Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran
yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir, maka dapat dilihat bahwa dari
keseluruhan metode dan corak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari
hal itu tidak dibenarkan jika seseorang mufasir mengklaim bahwa tafsirannya lah
yang paling benar dan mutlak. Sebab pencarian makna yang hakiki akan maksud
sebuat teks yang tercantup pada Al-Qur’an merupakan pencarian yang tiada henti
sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah diyakini akan muncul metode-metode
baru sebagai alternatif penggabungan metodologi tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Muhlisin,
“Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin, maudlu’i)”. Makalah
Studi Al-Qur’an, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Mohammad Nor
Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta:
Menara Kudus, 2004
Manna.Khalil
Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith.
1973)
Abdul Hay,Al-Farmawy,
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.)
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS,
2010)
M. Quraish Shihab.
Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992)
[1] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin,
maudlu’i)”. Makalah Studi Al-Qur’an,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm. 8-10
[2] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin,
maudlu’i)”. Makalah Studi Al-Qur’an,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm.10-14
[3] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy;
Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus,
2004, hlm
[4] Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum
al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973). 342
[5] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin,
maudlu’i)”. Makalah Studi Al-Qur’an,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm. 14-18.
[6] Muhlisin, “Metode Tafsir Al-Qur’an (Metode ijmali, tahlili, muqarin,
maudlu’i)”. Makalah Studi Al-Qur’an,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010, hlm.18-23
[7] Untuk memperluas pembahasan tafsir
tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al Qur’an Tematis
Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan
Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
[8] Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran
tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh dalam bukunya,
Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung
1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah
[9] Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 23
[10]
M.Alfatih Suryadilaga dkk,
Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm. 12
[11]
M. Quraish Shihab. Membumikan
al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
0 komentar:
Posting Komentar