CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 27 Januari 2012

Alasan Pancasila Masih Menjadi Ideologi Bangsa Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
  1.     Latar Belakang
Melihat sejarah perjuangan Indonesia pancasila adalah hasilnya. Mendengar kata pancasila, kita juga tidak bisa lepas dari tokohnya itu sendiri, yaitu Bung Karno. Pancasila yang ‘diusung’ oleh mantan presiden pertama Indonesia, Presiden Soekarno, yang pada waktu itu berusaha menyatukan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Nasakom) untuk menyatukan kekuatan masyarakat bangsa melawan kapitalisme dan imperialisme penjajah.
Semua bengsa dan negara pasti memiliki dasar, landasan, atau yang lebih                        . Pedoman tersebut di gunakan untuk menata bangsa itu sendiri. Maju atau tidaknya suatu bangsa tergantung bagaimana bangsa itu menjalankan nilai-nilai yang tercantum dalam landasan negaranya. Bila suatu negara bisa menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai yang ada dalam landasan negaranya itu sendiri, maka besar kemungkinan bengsa tersebut akan maju, tapi begitu pula sebaliknya.
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa bangsa indonesia juga memiliki landasan yang terdiri dari lima unsur yang kita kenal dengan pancasila. Pancasila merupakan dasar serta rujukan utama dalan menata bangsa ini. Sebagaian orang berpendapat bahwa pancasila adalah ideologi bangsa yang sangat berpengaruh dan urgen di dalam keberlangsungnya negara Indonesia itu sendiri. Namun, disebagaian pihak menganggap pancasila hanyalah hasil karya manusia sebagai landasan semata.

  2.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
ü  Bagaimana sejarah pancasila?
ü  Apa hubungannya pancasila dan filsafat negara?
ü  Mengapa harus pancasila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    TERSUSUNNYA PANCASILA
Lahirnya istilah “Pancasila” dan “Piagam Jakarta” hanya berjarak kurang lebih tiga minggu. Di dalam perjalanan Kemerdekaan Indonesia, banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar persoalan tersebut. Bahkan semenjak dibahas dalam sidang-sidang BPUPKI soal itu ramai diperdebatkan. Kemudian kembali menjadi topik yang menegangkan di dalam sidang Konstituante. Yang ramai dipersoalkan tidak lain adalah “Lahirnya Pancasila” dan “Piagam Jakarta”.[1]
Dalam buku “MANUSIA INDONESIA, MANUSIA PAMCASILA” karangan Hari Sumarno, S.H. menyebutkan setidaknya ada empat pembicaraan tentang pancasila dan piagam jakarta yaitu:
a.      Pembicaraan-pembicaraan pada sidang BPUPKI
Dalam wawancara bersama antara Bung Hatta, Prof. Sunario, Prof. Mr. Subardjo, Prof. Mr. Pringgodigdo dan Drs. Pratignyo, terungkap nama-nama pembicara-pembicara pada sidang BPUPKI yang pertama yaitu:
Ø      Tanggal 29 Mei 1945    : Mr. Muh. Yamin
Ø      Tanggal 30 Mei 1945    : Drs. Moh. Hatta
Ø      Tanggal 1 Juni 1945      : Ir. Sukarno
Pada hari ketiga (31 Mei) yang berbicara adalah Prof. Dr. Supomo. Namun, Mr. Muh. Yamin berbicara lagi pada hari tersebut setelah Dr. Supomo, sehingga sejak hari pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 terdapat empat pembicara yaitu Mr. Muh. Yamin, Drs. Muh. Hatta, Prof. Supomo dan dan yang terakhir adalah Ir. Sukarno.[2]
b.    Pembicaraan Mr. Muh. Yamin
Mr. Muh. Yamin adalah orang pertama yang berbicara pada tanggal 29 Mei 1945. Beliau berbicara antara lain mengenai dasar-dasar Negara tetapi juga melampirkan Rancangan-rancangan UUD.
Rancangan UUD yang disebutkan oleh Mr. Muh. Yamin yang dilampirkan pada pembicaraan tanggal 29 Mei 1945, terdiri atas:
Ø      PEMBUKAAN
Ø      BATANG TUBUH, terdiri 15 bab, 37 pasal, 2 pasal Aturan Peralihan 2 Ayat Aturan Tambahan,
Secara lisan(di luar rancangan yang dilampirkan) pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin mengusulkan:
ü   Peri Kebangsaan
ü   Peri Kemanusiaan
ü   Peri Ke-Tuhanan
ü   Peri Kerakyatan:    a. Permusyawaratan
                                 b. Perwakilan
                                 c. Kebijaksanaan
ü   Kesejahteraan Rakyat-Keadilan Sosial[3]
Menurut penulis tentang apa yang dipaparkan oleh Mr. Muh. Yamin adalah dengan kelima peri tersebut dapat terbentuknya Negara Indonesia yang mampu melindungi segenap warga negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan, dan dapat ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Indonesia dan keadilan sosial.

c.   Pembicaraan Prof. Dr. Supomo
Pada pidatonya pada hari ketiga, Prof. Dr. Supomo antara lain menegaskan: “..... jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas pikiran-pikiran (Staatsidee) negara INTEGRALISTIK, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.
Beliau menggambarkan sifat tatanegara yang asli, yang masih terlihat di desa-desa di Jawa dan Sumatra dan kepulauan-kepulauan Indonesia lainnya, bahwa
§  PEJABAT NEGARA: pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan wajib memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya.
Seterusnya, Prof. Supomo mengajukan usul, yang dapat disimpulkan sebagaimana yang tertera di bawah ini:
§  Persatuan
§  Kekeluargaan
§  Keseimbangan lahir dan batin, persatuan antara dunia luar dan dunia batin
§  Keadilan rakyat, yang memberi bentuk kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat
§  Musyawarah
Mengenai hubungan antara agama dan negara, beliau menguraikan adanya dua pendapat, yaitu:
a.     Keinginan ahli-ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai Negara Islam
b.     Golongan lain menganjurkan didirikan Negara persatuan nasional, yang memisahkan urusan Negara dan urusan Islam.[4]

d.  Pembicaraan Ir. Sukarno
Ir. Sukarno berbicara pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu hari keempat sidang pertama BPUPKI. Beliau mengusulkan lima prinsip yaitu:
§  Kebangsaan Indonesia
§  Internasionalisme, atau perikemanusiaan
§  Mufakat, atau demokrasi
§  Kesejahteraan sosial
§  Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa[5]
Sebagaimana diketahui, pancasila, dasar negara dimuat di dalam Undang-Indang Dasar 1945 pada alenia ke-VI Pembukaan adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam                permusyawaratan/perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[6]

B.     HUBUNGAN PANCASILA DAN FILSAFAT NEGARA
Tidak bisa dipungkiri bahwa pancasila ada kaitan erat dengan falsafah negara itu sendiri. Unsur ketuhanan yang maha Esa dalam pandangan hidup bansa Indonesia adalah jelas. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. Dan agama itu telah diamalkan oleh bangsa Indonesia sejak lama.
Menurut buku yang berjudul “Falsafah Indonesia” karanan Prof. M. Nasroen S.H. menyebutkan bahwa dasar dari falsafah Indonesia itu ada tiga yaitu:
§  Ketuhanan yang maha esa
§  Kekeluargaan
§  Rasio[7]
Sedangkan jika kita tinjau lebih jauh, semua dari filsafat Indonesia menurut Prof. M. Nasroen itu masuk ke dalam tatanan pancasila. Yang mana di dalam pancasila itu sendiri terdapat sila tentang ketuhana, kekeluargaan.
Sifat kefilsafatan dari dasar negara itu terwujud dalam rumus abstrak dari kelima sila daripada pancasila yang kata-kata intinya ialah ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan (kesatuan dalam dinamika), Kerakyatan dan Keadilan terdiri atas kata pokok dengan awalan akhiran ke-an dan per-an.
Dasar filsafat, asas kerohanian negara Pancasila adalah cita-cita yang harus dijelmakan dalam kehidupan negara. Maka dasar filsafat ialah ratio daripada kehidupan negara dan bangsa kita, sedangkan makna pengertian ideologi negara adalah pertama,cita-cita negara yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan; kedua, ilmu pengetahuan tentang cita-cita negara.
Pancasila sebagai ratio daripada kehidupan negara dan bangsa itu yang sesuai dengan akal yang merupakan sumber kekuasaan jiwa bagi peningkatan martabat kehidupan manusia yang tidak ada taranya dan lagi sebagai jiwa kehidupan negara dan bangsa adalah pemberi hidup, serta basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk rakyat dan bangsa yang bersangkutan:
§  Mempunyai derajat yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan
§  Karena itu mewujudkan suatu milik kerohanian  pandangan hidup, filsafat hidup, pegangan hidup, sikap dan cara hidup yang dipelihara, diperkembangkan dengan kesediaan berkorban, sebagaimana dalam kenyataan hidup sebelum Prokalamakasi Kemerdekaan dan sesudahnya telah berulang-ulang dikorbani. Kecuali itu memang sudah semestinya sebagai kebaktian rakyat dan bangsa kita sebagai ikrar gaib sebagaimana tercantum di dalam kalimat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pernyataan kemerdekaan kita adalah “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”[8]
Dengan uraian di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa pancasila merupakan salah satu poin dari filsafat negara. Filsafat sendiri merupakan suatu kebudayaan, yaitu hasil kreasi manusia atau dengan kata lain sebagai hasil produk manusia. Karena unsur budaya manusia adalah cipta, rasa, karsa, maka filsafat adalah hasil kebulatan cipta, rasa, karsa tersebut.
                                  i.              PANCASILA ADALAH SUATU SUBSTANSI
Sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, maka esensi seluruh sila-silanya juga merupakan kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia dan bukan jiplakan dari luar. Adapun yang menjadi unsur-unsur pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Adanya pancasila terdapat di dalam dirinya sendiri, sebab itu pancasila adalah suatu substansi yang mengandung esensi.
Ø  Esensi Sila-sila Pancasila
Di sini dijelaskan pengertian masing-masing esensi.
Kata-kata tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut:
§  Ketuhanan adalah kesesuaian dengan hakikat tuhan
§  Kemanusiaan adalah kesesuaian dengan hakikat manusia
§  Persatuan adalah kesesuaian dengan hakikat Satu
§  Kerakyatan adalah kesesuaian dengan hakikat rakyat
§  Keadilan adalah kesesuaian dengan hakikat adil[9]

C.    PANCASILA MENJADI SATU-SATUNYA ASAS BAGI BANGSA INDONESIA
Penjelasan tentang  judul makalah ini bisa dijawab dengan meneliti kembali uraian yang digariskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pidato Kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1983
a.      Ketetapan No. II/MPR/1983 GBHN
Pada bab IV huruf D angka 3 dari ketetapan tersebut digariskan antara lain sebagai berikut:
“untuk menetapkan stabilitas dibidang politik haruslah diusahakan makin kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa serta makin tegak tumbuhnya kehidupan yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan pancasila, kekuantan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang HANYA BERDASARKAN PANCASILA SEBAGAI SATU-SATUNYA ASAS”.
b.      Pidato Kenegaraan Presiden Tanggal 16 Agustus 1983
Di dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1983 menyatakan antara lain:
Sumber bagi penyegaran motivasi dan moral itu ialah penghayatan kepada perjuangan bersama dari semua pihak, sumua golongan, semua lapisan dan semua generasi bangsa kita di masa lampau, khususnya dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan Kemerdekaan Nasional
Dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan persatuan PANCASILA lah yang telah ditetapkan sebagai dasar negara satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan yang kemudian telah menjadi pedoman kita semua.
Pancasila merupakan sumber yang hidup, bukan sumber yang mati dan kering, bagi penyegaran motivasi dan moral bagi semua pihak dan semua golongan.
Seperti halnya demokrasi, pancasila adalah sesuatu yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan tuntuk rakyat dan oleh sebab itu, dan dengan dasar pancasila diharapkan menciptakan masyarakat yang pancasila pula. Pancasila bukan hanya menjadi dasar negara saja, tetapi juga mempunyai arti dan fungsi yang banyak. Kedudukan dan fungsi pancasila dapat menjadi:
§  Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia
Hal ini berarti bahwa Pancasila melekat erat pada kehidupan bangsa Indonesia, dan menentukan eksistensi bangsa Indonesia. Segala aktivitas bangsa Indonesia disemangati oleh Pancasila.
§  Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia
Hal ini berarti bahwa sikap mental, tingkah laku dan amal perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri-ciri khas yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Ciri-ciri khas inilah yang dimaksud dengan kepribadian, dan kepribadian bangsa Indonesia adalah Pancasila.
§  Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk, penuntun, dan pegangan dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
§  Pancasila adalah falsafah hidup bangsa Indonesia
Falsafah berasal dari kata Yunan “philosophia”. Philos atau philein berarti to love (mencintai atau mencari). Sophia berarti wisdom, kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi secara harafiah, falsafah berarti mencintai kebenaran. Dengan demikian, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia mempunyai arti bahwa, Pancasila oleh bangsa Indonesia diyakini benar-benar memiliki kebenaran. Falsafah berarti pula pandangan hidup, sikap hidup, pegangan hidup, atau tuntunan hidup.
§  Pancasila adalah perjanjian luhur rakyat Indonesia
Hal ini berarti bahwa Pancasila telah disepakati dan disetujui oleh rakyat Indonesia melalui perdebatan dan tukar pikiran baik dalam sidang BPUPKI maupun PPKI oleh para pendiri negara. Perjanjian luhur tersebut dipertahankan terus oleh negara dan bangsa Indonesia. Kita semua mempunyai janji untuk melaksanakan, mempertahankan serta tunduk pada azas Pancasila.
§  Pancasila adalah dasar Negara Repbuplik Indonesia
Hal ini berarti bahwa Pancasila dipergunakan sebagai dasar dan pedoman dalam mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Isi dan tujuan dari semua perundang-undangan di Indonesia harus berdasarkan, Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan jiwa Pancasila. Pancasila dalam pengertian ini disebut dalam Pembukaan UUD 1945.

Jadi inti dari pembahasana penulis adalah seperti yang telah tercantum pada pancasila yaitu sila yang ketiga, yakni Sila Persatuan Indonesia yang artinay bahwa pancasila sangatlah menekankan dan menjunjung tinggi persatuan bangsa. Hal itu berarti bahwa Pancasila juga menjadi alat pemersatu bangsa. Disebtunya sila Persatuan Indonesia sekaligus juga menunjukknan banwa bangsa Indonesia memiliki banyak perbedaan, baik itu perbedaan bahasa (daerah), suku, budaya, golongan, kepentingan, politik, bahkan agama. Artinya bahwa para pemimpin bangsa terutama yang mereka terlibat dalam penyusunan dasar negara sangat mengerti dan sekaligus juga sangat menghormati perbedaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Mereka juga menyadari bahwa perbedaan sangat potensial menimbulkan perpecahan bangsa, dan oleh sebab itu mereka juga sangat menyadari pentingnya persatuan bagi bangsa Indonesia. Pencantuman Sila Persatuan bagi bangsa Indonesia selain menyadari pentingnya persatuan bagi kelangsungan hidup bangsa, juga menunjukkan adanya pemahaman bahwa perbedaan itu suatu realita yang tidak mungkin dihilangkan oleh manusia. Perbedaan sesungguhnya adalah suatu hikmah yang harus disukuri, dan bukan sesuatu yang harus diingkari. Apalagi harus dihilangkan dari muka bumi ini.
Perbedaan adalah juga kodrati yang ada di mana-mana, di negara manapun juga dan di bangsa manapun juga. Menyikapi realita semacam ini, jalan keluarnya tidak dapat tidak adalah menjadikan perbedaan yang ada sebagai suatu kekayaan yang justru harus dijunjung tinggi dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan maupun daerah. Dalam wacana nasional maka barometer yang harus dijunjung tinggi adalah kepentingan nasional, dan bukan kepentingan yang lebih kecil, lebih rendah, ataupun yang lebih sempit. Dengan kesadaran semacam ini, maka terlihat jelas bahwa persatuan bangsa sesungguhnya nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh semua umat manusia. Karena pada hakekatnya, perpecahan atau pertikaian justru akan menghancurkan umat manusia itu sendiri.
 Seloka Bhineka tunggal Ika memang sangat tepat untuk direnungkan kembali esensi dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Karena pada hakekatnya semua bangsa, semua manusia memerlukan persatuan dan kerjasama di antara umat manusia. Kerjsama butuh persatuan, dan persatuan butuh perdamaian. Oleh sebab itu perpecahan sebagai lawan dari persatuan mutlak perlu dihindari dan disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari penjelasan ini, kita semakin tahu dan sadar, bahwa Sila Persatuan Indonesia sangat tepat dicantumkan dalam dasar negara, mengingat kebenaran dan kebutuhan yang dihadapi oleh seluruh umat manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai pemersatu bangsa, Pancasila mutlak diperlukan oleh seluruh generasi bangsa. Sekalipun bangsa Indonesia yang sekarang sudah bersatu, tidak berarti Pancasila tidak diperlukan lagi. Karena yang disebut bangsa Indonesia bukan hanya yang sekarang ini ada, tetapi juga yang nanti akan ada. Selama masih terjadi proses regenerasi, selama itu pula Pancasila sebagai pemersatu Bangsa masih tetap kita perlukan. Itu berarti, selama masih ada bangsa Indonesia, selama itu pula masih kita perlukan alat pemersatu bangsa. Ini berarti, bahwa selama masih ada bangsa Indonesia, maka Pancasila sebagai dasar negara masih tetap kita butuhkan. Ini sekaligus membuktikan kebenaran Pancasila, baik selaku dasar Negara, maupun sebagai kepentingan lain. Sehingga Pancasila menunjukkan memiliki banyak fungsi atau multy function.
Jadi, pancasila adalah azaz yang paling cocok untuk bangsa yang penuh dengan keanekaragaman budaya dan pancasila-lah pemersatu dari perbedaan tersebut.
Saran
Untuk menetapkan kestabilitasan bangsa dan usaha mengkokohkan persatuan serta kesatuan bangsa ditambah menegakkan tumbuhnya kehidupan yang konstitusional, demokratis serta berdasarkan hukum yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 maka diperlukannya pancasila sebagai asas yang cocok di negara Indonesia ini. Selain itu pancasila difungsikan sebagai penyegar motivasi dan moral bangsa pada generasi yang akan datang dan sebagai pemersatu bangsa dan dimaksudkan untuk terciptanya masyarakat yang sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Sumarno, Hari. Manusia Indonesia, Manusia Pancasila. Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984. Nasroen, M. Falsafah Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Soemardi, Hartati. Pemikiran Tentang FILSAFAT PANCASILA. Yogyakarta: ANDI OFFSET,      1992.






[1] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 35.
[2] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 35-36.
[3] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 36-37.
[4] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 38-40.
[5] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 40-42.
[6] Sumarno, Hari, Manusia Indonesia, Manusia Pancasila (Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1984), hlm. 115.
[7] Nasroen, M, Falsafah Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 37-38.
[8] Soemardi, Hartati, Pemikiran Tentang FILSAFAT PANCASILA (Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1992), hlm. 47-48.
[9] Soemardi, Hartati, Pemikiran Tentang FILSAFAT PANCASILA (Yogyakarta: ANDI OFFSET, 1992), hlm. 54.

Transmisi Hadits Pada Zaman Sahabat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada massa nabi memang hadist dilarang untuk ditulis, meskipun demikian hal itu tidak berarti hadits tidak ditulis sama sekali. Diantara para sahabat ada beberapa orang yang mempunyai lembaran-lembaran catatan hadits. Misalnya Abdullah ibn Amr ibn Ash, ia memiliki lembaran catatan hadits yang dikenal dengan nama Al-Shahifah Al-Shodhikoh. Dinamakan demikian karena ia menulis hadits secara langsung dari Nabi sendiri. Sehingga dipandang sebagai riwayat yang paling benar[1]. Demikian pula Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik, mereka juga memiliki cacatan-catatan hadits[2]. Hal ini tidak berarti mereka melanggar larangan nabi SAW di atas. Tetapi memang ada riwayat lain yang menyatakan tentang izin dari Nabi SAW untuk menulis hadits.
Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn Ash untuk tidak menulis hadits secara terus menerus. Karena menurut mereka, Nabi SAW kadang-kadang dalam keadaan marah sehingga ucapannya tidak termasuk syari’ah. Perintah Nabi SAW menulis hadits-haditsnya juga terjadi pada saat fathul Makkah. Disini ada dua riwayat yang berbeda mengenai penulisan hadits pada masa Nabi SAW sebagai berikut:
 Pertama, riwayat yang melarang penulisan hadits dinasakh (dihapus) oleh riwayat yang mengizinkannnya. Pelarangan dilakukan dengan maksud untuk menjaga kemurnian al-Qur’an agar ayat-ayatnya tidak bercampur dengan selainnya. Oleh karena itu, ketika kekhawatiran tersebut telah hilang, karena para sahabat telah dapat membedakan antara ayat-ayat al-Qur’an dan yang bukan, maka kemudian Nabi SAW mengizinkan mereka menulis hadits[3].
Kedua, pelarangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dan al-Qur’an, sedangkan izin diberikan kepada mereka yang tidak dikhwatirkan mencampuradukkan keduanya, seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Atau, pelarangan itu dimaksudkan untuk penulisah hadits secara resmi, sedangkan izin diberikan bagi penulis hadits untuk diri sendiri (pribadi). Jadi, pelarangan bersifat umum, sedangkan izin diberikan secara khusus kepada beberapa sahabat tertentu[4].
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada Nabi SAW hadits telah mulai ditulis oleh beberapa orang sahabat, meskipun hanya dalam jumlah terbatas dan bersifat pribadi. Perkembangan hadits pada masa ini lebih banyak mengandalkan hafalan dan praktek secara langsung.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat di ambil pertanyaan, yaitu :
Ø   Bagaimana proses transmisi hadist pada massa sahabat ?

BAB II
PEMBAHASAN
Di muka telah dikemukakan, bahwa para sahabat tertentu telah menulis hadits pada saat Nabi SAW masih hidup, dan bahkan dalam kesempatan tertentu Nabi SAW mendektekannya kepada mereka. Jumlah sahabat yang menulis hadits tersebut jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah para ahli dibidang itu pada masa berikutnya. Hal ini karena mereka lebih banyak menghafal hadits dari pada menulisnya.
Diantara para sahabat yang menulis hadits tersebut ada yang menyimpannya sebagai koleksi pribadi dan kemudian meriwayatkannya kepada orang lain, ada juga yang berusaha menlenyapkannya. Seperti pada khulafau al-Rosyidin :
Massa Abu bakar al-Shiddiq
Menurut satu riwayat, suatu saat Abu Bakar pernah melakukan pembakaran terhadap hadits-hadits yang ditulisnya. Ini berdasarkan riwayat yang dikutip oleh al-Hakim bersumber dari ‘Aisyah r.a., diceritakan bahwa ‘Aisyah berkata: “Ayahku (Abu Bakar) mengumpulkan hadits-hadits Nabi SAW sebanyak 500 buah. Pada suatu malam beliau tampak resah sampai saya merasa risau. Akhirnya saya bertanya, apakah ayah sedang sakit atau ada suatu hal yang ayah dengar? Esoknya beliau menyuruhku untuk membawakan hadits-hadits yang ada pada saya. Setelah kuberikan kepada beliau, beliau lalu membakarnya. Saya lalu bertanya, mengapa ayah membakar hadits-hadits itu? Beliau menjawab” saya khawatir apabila saya mati dan hadits-hadits itu masih ada padaku. Sebab hadits-hadits berasal dari orang yang saya percayai, padahal itu tidak seperti yang beliau sampaikan kepadaku, maka berarti saya telah menyebarluaskannya”.[5]
Menurut Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (W. 748 H), sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail, Abu Bakar merupakan sahabat Nabi SAW yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits.[6] Dia tidak menerima hadits yang disampaikan seorang perawi sebelum perawi itu menghadirkan saksi. Karena itu, pada masa kekhalifahan Abu Bakar kegiatan periwayatan hadits berlangsung sangat terbatas bahkan nyaris tidak terdengar. Hal ini barang kali disebabkan oleh adanya berbagai masalah yang membahayakan Negara dan pemerintahan, seperti munculnya nabi palsu.[7]
Masa Umar ibn al-Khatab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam masalah hadits, bahkan hingga dalam penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay ibn Ka’ab, ia baru bersedia menerima riwayat hadits itu setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr, menyatakan telah mendengar pula hadits seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[8] Umar juga menekankan kepada para sahabat yang lain agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya agar masyarakat tidak terganggu kosentrasinya dalam membaca dan mendalami al-Qur’an. Abu Hurairah yang kemudian hari dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh umar.[9]
Masa Utsman bin Affan
 Kebijakan Utsman mengenai masalah hadist tidak setegas langkah Abu Bakar dan Umar. Dalam sebuah khutbahnya, Utsman pernah menyampaikan seruan agar islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Utsman juga tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad Imam Ahmad meriwayatkan hadits Nabi SAW dari Utsman hanya sekitar 40 hadits saja.
Masa Ali ibn Abi Thalib
Sebagai khalifah terakhir ia meneruskan langkah para pendahulunya tentang kehati-hatiannya dalam masalah hadits. Dalam kaitan ini, Ali baru bersedia menerima hadits setelah yang bersangkutan menyatakan sumpah atas kebenaran hadits yang disampaikannya. Namun berbeda dengan para pendahulunya, Ali termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan meriwayatkan hadits, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam hal ini Ahmad Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Ali ibn Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Hadits yang diriwayatkan Ali dalam bentuk tulisan isinya berkisar tentang hukuman denda (dyat), pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan melakukan hukum balas (qishash) terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.[10]
Cara-Cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadits
Pada dasarnya ada dua hal yang mendasari penyampaian hadits di zaman sahabat yaitu:
1.      Kondisi politik
2.      Metode sahabat dalam meriwayatkan hadits
a)      Tidak memperbanyak dalam meriwayatkan hadits
b)      Konfirmasi
c)      Larangan menyampaikan hadits yang sulit dipahami oleh orang awam
Selain itu, menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, cara sahabat-sahabat Nabi SAW meriwayatkan hadits ada dua yaitu:
a.       Ada kalanya dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.      Ada kalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena lafalnya yang asli lagi dari Nabi
Memang mereka meriwayatkan hadits adakalanya dengan makna-maknanya saja, yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan meriwayatkan al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya, walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan.
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal (matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.[11]

Lafal-Lafal yang Dipakai Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadits dan Derajatnya
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW, maupun perbuatannya, para ahli ushul membaginya kepada lima derajat:
Ø  Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, “sami’tu Rasulallahi yaqulu kadza….. (saya dengar Rosul berkata begini……)”, atau “akhbarani…….(mengabarkan kepadaku…..)”, atau “haddatsani……(menceritakan kepadaku)”, atau “syafahani……(berbicara dihadapanku….)”.[12] Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits. Riwayat yang serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak mendengar sendiri.
Ø  Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rosul SAW. Begini, atau mengabarkan Rosul SAW. Begini, atau menceritakan Rosul SAW. Begini. Riwayat ini zhahirny, sahabat tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri. Ada kemungkinan mendengar dari orang lain. biasa seorang berkata, bersabda Rosulullah atas dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mendengarnya.
Ø  Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasul SAW menyuruh begini, atau menegah(melarang) ini…” ini dihukumi marfu’ menurut mazhab jumhur. Ada tiga kemungkinan hal ini.
a)      Mungkin tidak dengar sendiri perintah tersebut.
b)      Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja.
c)      Tentang umum dan khususnya[13]
Ø  Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “kami diperintahkan begini, atau kami ditegah (dilarang) begini….”. Ini menerima ketiga kemungkinan(ihtimal) yang telah diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang yang menyuruh, mungkin Nabi SAW, mungkin orang lain[14]
Ø  Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat begini……” maka jika disandarkan kepada zaman Rosul, member pengertian boleh. Contoh, perkataan Abu Sa’id, “di zaman Rosul kami mengelurakan satu gantang gandum untuk zakat fitrah”.[15]


Ketelitian para shohabat dalam menerima hadist dari sesama shohabat
Sahabat Rasul SAW dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui sepenuhnya isi alqur’an. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir ( perintah ) dan menjauhi dari segala nawahi ( larangan ). Apabila mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul mereka segera mengajarkannya kepada oprang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah dan untuk mencari rahmat. Dengan demikian hadist-hadist segera tersebar di kalangan umat. Maka apabila hadist itu terlupakan oleh seseorang, tetap ada orang yang menghafalnya.
Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Mereka tidak menerima dari siapa saja. Mereka mengetahui ada hadist yang menghalalkan dan ada hadist yang mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhon yang kuat. Karena itu mereka memperhatikan rawi atau marwi. Mereka tidak membanyakan penerimaan hadist, sebagaimana tidak membanyakan riwayat.

Syarat-syarat yang di tetapkan Abu bakar, Umar, dan Ali ketika menerima hadist
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat di ingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Dalam keterangan beberapa Atsar, Abu bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, seperti yang di riwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Hufadz.[16] Menuurut keterangan Atsar, bahwa Ali tidak menerima Hadist sebelum yang meriwayatkan itu di sumpah.
Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah, Asy-Syayuthi dalam Mistah Al-jannah,  Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam, Syaikhul Islam dan Syaikhol Islam Syubair Ahmad al-Ustmani dalam fath Al-Mulhin Syarh Al-Muslim, menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan beliau-beliau itu( Abu bakar dan Umar ) menerima riwayat orang seorang.
Maka pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah keharusan, hanya cara untuk menyakinkan dalam menerima yang di beritakan itu. Jadi, jika di rasakan tidak perlu meminta saksi atau sumpah perowi, dapatlah kita menerima riwayatnya.
Ibnu Uyainah  menetapkan bahwa “di riwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshohihkan Hadist.

Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan Hadist dan mengumpulkannya dalam sebuah buku
Asy-Syaik Abu bakar Ash-Shiqily berkata dalam faw’id-nya, menurut riwayat ibnu Basyqual, “para sahabat tidak mengumpuilkan sunnah-sunnah Rosululloh dalam sebuah mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dari di hafal dan yang tidak. Karena itu ahlu sunnah menyerahkan perihal penukilan hadist kepada hafalan-hafalan  mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak menyerahkan penukilannya secara demikian”.
Lafazd-lafazd sunnah tidak terjamin kesempurnaanya, sebagaimana Alloh SWT telah menjaga al-qur’an dengan nazham-nya, yang paling indah yang tidak dapat di ciptakan serupanya oleh manusia. Para sahabat berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka perselisihkan itu

BAB III

PENUTUP
Pada masa sahabat, hadist masih belum tersebar sangat luas, ini di karenakan pada massa itu masih terjadi proses pengkondifikasian Al-qur’an, jadi para sahabat dalam menyampaikan hadist sangat berhati-hati.
Dalam meriwayatkan hadist pun para sahabat mempunyai cara-cara tersendiri, yaitu adakalanya dengan lafal asli dan adakalanya dalam makna aslinya juga. Berbeda dengan Al-qur’an  yang harus dengan lafal dan maknanya yang asli juga, karena itu terdapat hadist-hadist yang di riwayatkan dengan lafalnya. Lantaran hadist-hadist itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.
Lafal-lafal yang dipakai oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadist pun ada tingkatan derajat, ada derajat yang paling kuat dan derajat shohaby. Juga tentang ketelitian para sahabat dalam menerima hadist dari sahabat lainnya, mereka sangat hati-hati dalam menerimanya.
Pada masa sahabat hadist belum sepenuhnya di bukukan dalam sebuah buku, karena hadist-hadist itu tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan yang di hafal dari yang tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddqy, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, PT. Pustaka rizki putra, semarang, 2009
Ahmad, Muhammad dan mudzakir, ULUMUL HADIST , CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000.
-----------, Al-Hadist, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yoyakarta, 2005.



[1] Abdul Majid Hasyim al-Hasani, Ushul al-hidis al-Nabawi (Kairo:al-Qahirah al-Hadisah li al-Talabah, tt.), hal 15.
[2] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta:Bukan Bintang, 1987), hal. 56.
[3] Sa’di Yasin, al-Idah fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Istilah (Beirut: Dar al-‘Arabiyah, 1971), hal. 12.
[4] Ash-Shiddieqy, Sejarah …….., hal. 58-59.
[5] M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Taqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 132-133
[6] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu    Sejarah(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 42.
[7] Ibid, hal. 43-44
[8] Ibid, hal. 44
[9] Ibid
[10] Ibid, hal. 48.
[11] Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,(semarang: 2009), hal. 39.
[12] Segala yang diriwayatkan dengan lafal-lafal ini, dipandang sabagai hujjah dengan tidak ada khilaf(bertentangan)
[13] Menurut mazhab Daud derajat ini tidak dapat dijadikan hujjah sebelum kita tahu bagaimana lafal Rosul sendiri
[14] Jumhur ulama ber-hujjah dengan lafal riwayat ini.
[15] Derajat ini menjadi hujjah menurut pendapat al-Amidi, Ibnu Hajib dan Ash-Shafiyu al-Hindy
[16] .Tarikh Tasri’Al-khudlori: 65-66