CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 09 Februari 2012

Angkringanku Vs Gedungnya


Diawali dengan istilah “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, persis seperti judul dalam sebuah film Indonesia yang menjelaskan keunikan negeri kita ini. Negeri indonesia yang digembor-gemborkan oleh pemerintah dan sebagaian ormas-ormas sebagai negara demokrasi ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Banyak orang yang fasih menyebut kata demokrasi tapi nihil dalam tindakannya, bahkan arti kata demokrasi ini hanya sebagai objek permainan belaka tanpa adanya pemahaman tentang arti dari demokrasi itu sendiri. Bahkan, mereka yang hanya mem-beo dengan kata-kata itu tidak lain hanya akan merendahkan segelintir orang yang memperjuangkan kata tersebut.
Pasti kita ingat beberapa waktu lalu di Daerah Istimewa Yogyakarta sedang panas-panasnya berita tentang pemilihan ketua daerah dengan model pencoblosan. Yang membuat menarik adalah penolakan oleh warga Yogyakarta sendiri dengan wacana tersebut. Dari situlah bermunculan perpecahan-perpecahan dimana-mana. Tentunya ada yang sependapat dengan wacana tersebut bahkan ada yang menolak mentah-mentah hal itu.
Kita juga pasti inggat jika berkunjung ke Yogyakarta sering dijumpai kedai makanan ringgan pinggir jalan yang lebih dikenal dengan sebutan angkringan dan yang lebih dikenal dengan istilah nasi kucingnya ini menyimpan peran yang besar dalam tertegaknya asas demokrasi di Indonesia khususnya di DIY namun sering luput dari pantauan kita.
Memang, angkringan  bukan satu-satunya tempat yang menjunjung demokrasi namun, disana kita sering berkumlulnya banyak orang tentunya dari berbagai komponen masyarakat. Ada tukang becak, guru, mahasiswa, pegawai negeri sipi dll. Yang membuat angkringan itu memiliki andil dalam tegaknya demokrasi adalah kita sering perdengarkan ocehan-ocehan bahkan diskusi kecil yang berbau bisnis, konflik antar agama, hingga politik. Mereka bahkan lebih nyaman mendiskusikan apa yang mereka dengarkan atau lihan di media-media pada siapa saja yang ada disana dari pada harus membicarakan di kantor masing-masing. Yang membikin menarik lagi adalah jarang kita lihat khususnya di angkringan adanya saling pukul jika ada saja ketidak samaan pendapat. Tentunya di sana kita dilatih menjadi pembicara yang baik tapi sekaligus menjadi pendengar yang bijaksana. Sekarang coba saja bandingkan dengan diskusi-diskusi yang dilaksanakan di kantor DPR/MPR. Di kantor yang kita tahu penuh dengan fasilitas yang mewah itu bahkan tidak bisa menjanjikan bahkan menjadikan wakil-wakil rakyat itu berfikir sehat. Acap kali sering terjadi ketidaksepakatan yang berujung pada aksi anarkis dalam ruangan yang tentunya mencoreng nama baik pemerintahan kita. Di gedung itu memang kita tahu benar judulnya adalah rapat atau diskusi namun, isinya hanya menimbulkan perpecahan belaka.
Dari opini di atas bahwa, tidak ada bedanya sebenarnya antara gedung yang mewah yang anggarannya milyaran rupiah itu dengan gubuk makanan kecil (angkringan) sebagai wahana mewujudkannya demokrasi di negeri kita ini. Bahkan, menurut sebagaian masyarakat angkringan lebih bersahabat atau bermasyarakat dari pada gedung-gedung pemerintahan yang hanya dikuasai oleh sebagaian pejabat.