Diawali dengan istilah “Alangkah Lucunya
Negeri Ini”, persis seperti judul dalam sebuah film Indonesia yang menjelaskan
keunikan negeri kita ini. Negeri indonesia yang digembor-gemborkan oleh
pemerintah dan sebagaian ormas-ormas sebagai negara demokrasi ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Banyak orang
yang fasih menyebut kata demokrasi tapi nihil dalam tindakannya, bahkan arti
kata demokrasi ini hanya sebagai objek permainan belaka tanpa adanya pemahaman
tentang arti dari demokrasi itu sendiri. Bahkan, mereka yang hanya mem-beo
dengan kata-kata itu tidak lain hanya akan merendahkan segelintir orang yang
memperjuangkan kata tersebut.
Pasti kita ingat beberapa waktu lalu di
Daerah Istimewa Yogyakarta sedang panas-panasnya berita tentang pemilihan ketua
daerah dengan model pencoblosan. Yang membuat menarik adalah penolakan oleh
warga Yogyakarta sendiri dengan wacana tersebut. Dari situlah bermunculan
perpecahan-perpecahan dimana-mana. Tentunya ada yang sependapat dengan wacana
tersebut bahkan ada yang menolak mentah-mentah hal itu.
Kita juga pasti inggat jika berkunjung
ke Yogyakarta sering dijumpai kedai makanan ringgan pinggir jalan yang lebih
dikenal dengan sebutan angkringan dan
yang lebih dikenal dengan istilah nasi kucingnya ini menyimpan peran yang besar
dalam tertegaknya asas demokrasi di Indonesia khususnya di DIY namun sering
luput dari pantauan kita.
Memang, angkringan bukan
satu-satunya tempat yang menjunjung demokrasi namun, disana kita sering
berkumlulnya banyak orang tentunya dari berbagai komponen masyarakat. Ada
tukang becak, guru, mahasiswa, pegawai negeri sipi dll. Yang membuat angkringan
itu memiliki andil dalam tegaknya demokrasi adalah kita sering perdengarkan
ocehan-ocehan bahkan diskusi kecil yang berbau bisnis, konflik antar agama, hingga
politik. Mereka bahkan lebih nyaman mendiskusikan apa yang mereka dengarkan
atau lihan di media-media pada siapa saja yang ada disana dari pada harus
membicarakan di kantor masing-masing. Yang membikin menarik lagi adalah jarang
kita lihat khususnya di angkringan adanya saling pukul jika ada saja ketidak
samaan pendapat. Tentunya di sana kita dilatih menjadi pembicara yang baik tapi
sekaligus menjadi pendengar yang bijaksana. Sekarang coba saja bandingkan
dengan diskusi-diskusi yang dilaksanakan di kantor DPR/MPR. Di kantor yang kita
tahu penuh dengan fasilitas yang mewah itu bahkan tidak bisa menjanjikan bahkan
menjadikan wakil-wakil rakyat itu berfikir sehat. Acap kali sering terjadi
ketidaksepakatan yang berujung pada aksi anarkis dalam ruangan yang tentunya
mencoreng nama baik pemerintahan kita. Di gedung itu memang kita tahu benar
judulnya adalah rapat atau diskusi namun, isinya hanya menimbulkan perpecahan
belaka.
Dari opini di atas bahwa, tidak ada
bedanya sebenarnya antara gedung yang mewah yang anggarannya milyaran rupiah
itu dengan gubuk makanan kecil (angkringan) sebagai wahana mewujudkannya
demokrasi di negeri kita ini. Bahkan, menurut sebagaian masyarakat angkringan lebih bersahabat atau
bermasyarakat dari pada gedung-gedung pemerintahan yang hanya dikuasai oleh
sebagaian pejabat.